Senin, 27 September 2010

Mengenang Seratus Tahun Gerakan Ekumene

Judul : Gerakan Ekumene Suatu Panduan
Penulis : Dr. Georg Kirchberger, SVD
Penerbit : Ledalero Maumere, 2010
Tebal : 360 halaman

Siapa atau pihak mana yang paling bertanggung jawab terhadap keterpecahan Gereja? Pertanyaan ini tentu saja terlintas dalam benak kita ketika menemukan berbagai macam aliran kepercayaan dalam Gereja Kristen dewasa ini. Bukankah Yesus sendiri berdoa agar para pengikutnya bersatu supaya dunia percaya. Mengapa Gereja Kristen mesti terpecah-pecah?
Kita patut menyesal bahwa Gereja Yesus Kristus yang satu itu terpecah dalam sedemikian banyak Gereja dan persekutuan gerejani yang tidak bisa bersatu dan tidak dapat menghormati tuan mereka Yesus Kristus dengan sehati dan sesuara.
Dalam situasi demikian kita juga patut berterima kasih bahwa Roh Kudus sudah menggerakan banyak orang dewasa ini untuk mencari jalan, agar Gereja-gereja Kristen yang saat ini terpisah dan terpecah bisa lagi bersama-sama menyatakan Gereja Yesus Kristus yang Esa itu. Namun usaha ke arah itu, bukan hanya belum mendapat respon yang sungguh-sungguh posistif, tetapi terutama karena msih cukup banyak orang Kristen dalam pelbagai Gereja yang belum cukup mengetahui usaha kea rah kesatuan itu, yang sering disebut dengan gerakan ekumene.
Buku yang ditulis oleh Dr. Georg Kirchbereger, SVD ini merupakan suatu panduan bagi kita untuk mengenal dan mendalami seluk beluk perjalanan dan perjuangan ekumene itu dalam pandangan Kristen Katolik. Buku ini juga ditulis dalam rangka peringatan seratus tahun (1910-2010) Konferensi Misi Internasional di Edinburg yang pada umunya dipandang sebagai titik awal bagi gerakan ekumene modern. Selain itu, tahun ini, Gereja-gereja di Indonesia yang sekarang ini bernama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia merayakan HUT-nya yang ke-60.
Mengenang kembali peristiwa historis besar ini sangat membantu kita untuk mengenal sekaligus mendalami gerakan ekumene dalam Gereja Kristen. Gerakan ekumene sungguh merupakan suatu jalan (the way) menuju Kristus yamg satu dan sama. Gerakan ini juga turut berdampak positif pada kerukunan dan sikap toleransi umat Kristen universal.
Dengan membaca buku ini, kita tidak hanya mengenal gerakan ekumene secara historis, tetapi seakan-akan membuat kita terus bermimpi akan kesatuan kembali Gereja-gereja Kristen yang sudah terpecah ini.

Demokrasi Pendidikan Formal

Rukhe A.Woda
Mahasiswa STFK Ledalero

Beberapa hari lalu, Senin 13 September 2010, penulis berkesempatan mengikuti diskusi (lebih tepatnya bincang-bincang) bersama Bapak Dr. Ignas Kleden yang diselenggarakan Forum Diskusi Filsafat Ledalero. Di luar dugaan saya bahwa Bapak Ignas Kleden, seorang sosiolog dan kritikus sastra akan berbicara tentang sekolah demokrasi di Indonesia, sebuah institusi pendidikan informal yang didirikan beberapa tahun yang lalu. Saya merasa tertarik dengan dua hal pokok yang diberikan dalam sekolah ini. Pertama, memperkenalkan nilai-nilai demokrasi bagi para peserta sekolah. Kedua, sekolah ini mengajarkan pengetahuan dasar tentang demokrasi dan membantu perkembangan keterampilan berdemokrasi.
Sebuah pertanyaan terlintas dalam benak saya, jika pendidikan informal saja sudah berpikir dan menjalankan nilai-nilai demokrasi, apakah institusi pendidikan formal juga telah melakukan hal yang sama? Tanpa berpretensi mengulas semua realitas buruk dunia pendidikan, penulis terobsesi untuk menampilkan dua persoalan utama yang menggambarkan bahwa institusi pendidikan formal belum sepenuhnya demokratis.

Desentaralisasi Kurikulum
Demokrasi pendidikan formal di Indonesia mesti dimulai dari sistem dan pola pendidikan. Pertama, sistem pendidikan mesti beralih dari pendidikan bergaya sentralistik ke pendidikan demokrasi dimana setiap pelaku pendidikan bebas mengaktualisasikan dirinya. Salah satu biang keladi kegagalan pendidikan di indonesia adalah sistem pendidikan nasional yang bersifat penyeragaman dan sentralistik. Sistem pendidikan ini merupakan hasil dari UU no. 2 tahun 1989 yang telah dipoltisasi guna melestarikan kekuasaan pemerintah pada waktu itu, dengan dalil demi penyelamatan dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi pendidikan memang harus dimulai dengan demokrasi kurikulum. Sejauh kurikulum masih dibentuk oleh pemerintah sentral (penguasa) atau kelompok tertentu maka demokrasi sekolah sulit berjalan. Kurikulum yang diatur secara sentralistik olek pemerintah akan membuat orang menjadi spektator atau penonton yang pasif, bukannya kreator atau pencipta yang berpartisipasi secara penuh dalam pembelajaran. Karena pola pendidikan yang sentralistik maka pelaku-pelaku pendidikan hanya dibuat tunduk dan taat oleh pihak pemerintah.
Kedua, pola mendikte guru terhadap murid. Tidak bisa kita pungkiri, sering kali terjadi hubungan yang tidak dialogal antara guru dam murid. Guru sering kali bertindak lebih dominan dan cendrung proaktif karena menganggap ia lebih senior sedangkan murid-murid lebih pasif dan reseptif karena mereka berada di posisi subordinat. Pola mendikte dan bahkan kekerasan yang dilakukan guru bukanlah cerminan relasi dialogis.

Pendidikan Yang Berakar pada Realitas dan Kembali ke Realitas
Persoalan mengenai pendidikan bukan hanya berkisar pada komponen pendidikan serta sarana dan prasarana pendidian, tetapi satu fenomena umum yang dirasakan sebagian masyarakat adalah pendidikan yang tidak menyentuh sisi kehidupan masyarakat. Pendidikan dinilai tidak banyak mempunyai dampak positif bagi perubahan kehidupan, entah kepada pendidik, maupun kehidupan anak didik. Dalam hal ini yang diterima dari pendidikan adalah konsep-konsep abstrak yang sangat jauh dari realitas kehidupan masyarakat.
Berkaitan fenomena ini, Prof. Djohar Ryanto, seorang pemerhati pendidikan asal Yogyakarta pernah memberikan komentar sinis bahwa pendidikan di indonesia hanya mengajak anak didik menjadi “makelar-makelar” pengetahuan tekstual. Dengan kata lain siswa-siswi tidak diarahkan untuk mempelajari hal-hal nyata yang ada di lingkungan mereka. Dampaknya mereka tercetak sebagai manusia-manusia yang terlepas dari realitas lingkungan dan kondisi nyata masyarakatnya.
Dalam takaran ini pendidikan yang berkembang menjadi tidak bermakna dan bermanfaat, tidak memilki nilai transformatif apa pun karena tidak menjadikan anak didik lebih mengenal lingkungan masyarakatnya. Sebagai contoh kasus pendidikan anti realitas dalam pembelajaran di Papua, yakni anak-anak SD di Papua harus belajar tentang kereta, becak, Siti, Budi, dan lain-lain (pembelajaran jawasentris) yang tidak ada di sekitarnya.
Fenomena pendidikan seperti ini, juga dikritik oleh Freire dalam bukunya Learning To Question. A Pedagogy of Liberation (1989). Menurutnya suatu pendidikan tidak bisa hanya dikembangkan atas dasar konsep-konsep yang abstrak, tetapi harus menyentuh sisi kehidupan manusia. We should not start from a concept in order to understand reality, but what we should do is strarr from reality so as via consepts to understand reality. Dengan demikian model pendidikan di Indonesia perlu diubah agar lebih bermanfaat. Pendidikan sudah semestinya berakar pada realitas dan kembali kepada realitas.
Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuh-kembangkan jati dirinya. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Pendidikan harus menghantar orang menyadari dirinya, mengenali potensi-potensi yang dimilikinya untuk diaktualisasikan selanjutnya. Materi-materi yang disajikan juga tidak mengasingkan pelaku-pelaku pendidikan melainkan membuat peserta didik dan pendidik merasa sebagai masalahnya sendiri.
Pada akhirnya pendidikan dapat menyentuh realitas yang ada dan masuk ke dalam ruang kehidupan masyarakat, atau meminjam bahasa sekolah demokrasi, “dapat diterjemahkan ke dalam ekspresi lokal”. **

Senin, 30 Agustus 2010

MULIA DALAM DALAM TUHAN (Perikop PIlihan: Luk 9: 28-36)



Ketika suara itu datang, tampaklah Yesus seorang diri (Luk 9: 36). Tidak ada lagi Musa, tidak ada lagi Elia. Hanya Yesus saja yang masih tetap tampak dalam kemuliaan-Nya. Di atas gunung ada beberapa orang yg mulia. Pertama, TUhan Yesus sendiri. Wajahnya berubah dan pakaian berkilau-kilau. Kedua, Musa dan Elia, Mereka juga tampak dalam kemulian sedang asyik berbicara dengan Tuhan.
Keadaan mulia ini amat menyenangkan dan membahagiakan. Para murid Yesus, seperti Petrus, sangat merasakan dan mengalami hal itu. Ia merasa begitu senang dan bahagia sehingga Ia tidak mau kehilangan pengalaman yg membahagiakan dan menyenangkan itu. Namun apa yang terjadi kemudian? Keadaan langsung berubah. Semua yang lain hilang. Musa Hilang. Begitu juga Elia. Suasana menjadi gelap oleh awan. Mereka juga mulai takut. Yang tinggal sekarang Cuma Tuhan sendiri. Dialah satu-satunya yang bertahan.
Di dunia ini ada banyak orang yang mulia, dan ada banyak barang yang menyenangkan. Ada orang yang mulia karena kekayaan yang melimpah. Ada orang yang mulia karena hormat yang besar dan nama yang hebat. Ada juga hal atau barang yang menyenangkan. Rekreasi yang panjang, obrolan yang asyik dan lama. Tidur yang lelap, taman yang indah, lingkungan yang bersih. Namun ada satu satu hal yang sama dalam dunia ini yakni, sifatnya yang sementara. Manusia siapa pun dan barang apa pun, tidak satu pun yang bertahan lama, tidak ada yang kekal abadi selamanya.Segala sesuatu adalah kesiaa-siaan dan usaha menjaring angin. Demikian kata Pengkotbah.
Apa yang mesti kita buat?
Hari ini, Yesus datang bagai cahaya matahari yang terbit di hadapan kita. Cagaya yang membuka tirai kesdaran kita akan apa yang mesti kita buat. Kita toh tidak terus terpana terhadap pancaran yang cahaya yang mengalir dari tubuh Yesus. Kita memperhatikannya seperti memperhatikan cahya yang muncul dalam kegelapan, yang bercahaya di tempat yang gelap dan bagi mereka yang membutuhkan penerangan. Saat ini, matahari mulai bersinat dan mengakhiti kegelapan malam. Cahaya kemuliaan Yesus pun mulai kita rasakan di pagi yang indah ini.
Sebagai seorang Kristiani, kita diminta untuk membagi cahaya kemuliaan Tuhan kepada semua mereka yang masih berada dalam kegelapan. Mulai sekarang dan dalam komunitas ini, kita belajar membagi cahaya Tuhan kepada sesama kita dengan menolong sesama, menghargai dan menghormati sesama, mengoreksi dan memberi masukan. Dengan demikian cahaya kemuliaan Tuhan akan tetap abadi dalam diri kita.
Mulia yang tahan zaman adalah Tuhan sendiri. Buatlah segala sesuatu dalam Tuhan, maka kita akan dimuliakan. Tuhan yang mulia ada dalam dunia nyata.

Kelimutu: Antara Kultus Penyembahan Roh Leluhur dan Keengganan Publik (Suatu Tinjauan Berdasarkan Dokumen Gereja Gaudium et Spes No.30)




Dalam sejaeah perkembangna pariwisata di Indonesia, Kelimutu bukanlah salah satu objek wisata tertua yang seing dikunjungi oleh para wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dibandingkan pariwisata di Pulau dewata Bali, kelimutu jauh ketinggalan di belakangnya, karena sejak jaman penjajahan, pemerintahan Hindia Belanda telah menaruh perharian yang penuh untuk perkembangna pariwisata di Bali. Baru sejak awal pemerintahan presiden Soeharto, lewar perhatian yang besar dari pihak pemerintah untuk mengembangkan pariwisata sebagai sumbar devisa bagi Negara, barulah Kelimutu menjadi salah satu objek pariwisata di Flores yan gsering dikunjungi. Samapi dengan tahun 1980-an sudah ada turis perualangan yang dan akhirnya dibentuk tour operator yang bekerja di sana. Selain Labuan Bajo, Kelimutu (gunung dan danua menjadi salah satu objek pariwisata yang sering dikunjungi akgir-akhir ini dengan desa moni yang terletak di bawah kaki gunungnya sebagai desa pariwisata.
Saat ini, kelimutu yang sedianya terdapat tiga danau unik sebagai objeknya, kini telah berganti nama yang lebih lengkap Taman Nasional kelimutu. Kita bisa melihatnya ini di pinggit jalan raya Ende-Maumere. Ini berarti Ketiga danau bukan hanya salah satu obejek pariwisata tetapi selain itu juga ada objek lain yang dapt dinikmati seperti panorama alam lainnya sperti tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di sana. Meskipun demikian akhir-akhir ini kelimutu yang dulunya ramai dikunjungi wisarawan, akhir-akhir ini kelihatan semakin menurun, baik itu wisatawan asing maupun domestik. Salah satu faktor penyebab menurunnya prosentase praktek misitis-magis yan gmasih kental. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba melihat pengaruh praktek mistis-magis masyarakat Lio yang mempunyai dampak negatif menurunnya wisatawan yang berkunjung ke sana.

Kelimutu: Locus Penyembahan Para Leluhur
Dalam pandangan orang Lio kematian merupakan saat perpisahan antara jiwa dan badan. Pada saat kematian, jiwa (mae) akan terlepas dari badan (tebo) dan kembali ke tempat asalnya. Perpisahan ini menyebabkan manusia tidak lagi menjadi manusia yang utuh karena yang tinggal tetap hanyalah jiwa. Pada waktu oran gmeninggal jiwa akan meninggalkan badan dan pergi ke alam baka. Masyarakat Lio meyakini alam baka, tempat tinggal semua arwah yang telah meninggal adalal Kelimutu. Terdapat tiga danau di Kelimutu, tempat tinggal aewah orang yang sudah meninggal, yakni; pertama, danau tiwu ata bupu ( danau untuk orang tua yang berwarna hitam) dipercayai menjadi tempat tinggal para aewah dari kalangan orang tua. Kedua, danau tiwu nuwa muri jemu (danau untuk muda yang berwarna hijau pucat) yan dipercayakan sebagaitempat tinggal oran gmuda. Ketiga, danau tiwi ata polo (danau untuk para suanggi yangberwarna hitam) diyakinisebagai temapt tinggal kaum sunaggi. Sedmua aewah orang yang meninggal diyakini akan pergi dan menetap di puncak Kelimutu.
Keyakinan yang mempunyai dasat yang amat kuat dan berurat akat dalam masyarakat Lio melahirkan berbagai macam ritus tertentu yang dibuat di puncak Kelimutu. Kultus ini berkaitan dengan penyembahan dan penghormatan kepada para leluhur yan gsudah meninggal dunia. Salah satu upacata ritual yan gmasih sering dibuat di Kelimut adalah ritus Pa’aLoka. Dalam bahasa Lio paaloka meupakan gabungan dari dua suku kata paa dan loka. Paa berarti menyimpan atau menaruh. Sedangkan Loka artinya tumpah, menumpahkan atau juga membuang. Paa loka berkaitan dengan makanan yan gdisajikan kepada oran gtelah meninggal atau sesuatu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib. Jadi, paaloka adalah member makanan kepada arwah oran gyan gmeninggal atau sesuatuyan gdipercaya mempunyai kekuatan gaib.
Berkaitan dengan keyakinana-kayakinan yang kuat akan adanya arwah oran gyan meninggal lewat berbagai macam acara ritual, kekayaan buidaya yan gharus dijaga dan dilestarikan karena mempunyai nilai yan gunik dank has budaya setempat. Tetapi di pihak lain, acara seperti ini ternyata menimbulkan keengganan dan ketakutan untuk datang berkunjung ke Kelimutu. Terutama untuk wisarawan domestic, sangat jarang bahkan dilarang untuk berpergian sendiri ke Kelimutu. Beberapa peristiwa kehilangan wisatawan di Kelimutu embuat otan gmerasa cemas untuk berkunjung secara sendirian ke Kelimutu. Selain itu, ada tindakan-tindakan berisafat ekstrim dan fatalistik karena terobesi keyakinan kan tempat itngal para aewah, beberpa orang harus nekad bunuh diri dengan melompat kawah danau. Disinyalir factor penyebabnya selain karena berbagai masalah yan gpelik tetapi juga keyakinan bahwa mereka langsung ke tempat perisitirhatan yan gterakhir. Kejadian ini hampir terjadi setipa tahun sehingga ini meresahkan masyatakat akan objek wisata Kelimutu. Meteka mulai menilai Kelimtu menjadi sangat angker dan mempyaui kekuatan magis.

Membaca Dokumen Gereja Gaudium et Spes No.30 dan Relevansi Praktisnya
Gaudium et Spes (GS) No.30 berbicara tentang etika individualis yang harus ditaati. Di sini, penulis tidak bermaksud mempersolakan praktek penymbahan para leluhur sebagai sebuah ritual kekafira sebagaimana ditentang oleh ajaran Kristen, tetapi penulis melihat sebagai bagian dari persoalan individual yang harus diatasi. Yang termasuk dalam persolana individual ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak dan merugikan banyak pihak. Beberapa tindakan yang dilakukanindividu atau kelompok tertentu berdampak pada kebijakan dan perhatian public.
Dalam paragraph pertama GS No. 30 tertera himbauan untuk tidak mengikuti etika individu semata-mata. “Mendalam serta pesatnya perubahan lebih mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, Karena mengabaikan perkembangn ajaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis semata-mata”. Kalimat ini tentunya menegaskan kepada kita supaya tidak mengandalkan peilaku individual kita dalam persoalan-persoalan public. Perilaku individual kita cenderung bersifat subjetif dan kadangkala mengabaikan etika kebersamaan. Lebih lanjut ia menegaskan: “ Ada saja yang kendati menyuarakan pandangan-pandangan yang luas dan bernada kebesaran jiwa, tetpai menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali ridak mempedulikan masyarakat”. Dengan demikian etika individual mestinya dibatasi dalamranah public yang mengarahkan oran gpada kebaikan bersama (bonum communae).
Kembali kepada kasus di atas, terdapat dua persoalan yang diangkat, yakni ritual penyembahan dan penghoramtan para leluhur dan aksi bunuh diri yang dilakukan di Kelimutu. Di satu pihak, ritus penyembhan dan penghormatan arwah para leluhur ini mengndikasikan keunikan dan kekyayaan kazanah budaya lokal, tetapi di sisi lain, ritus ini mendatangka kecemasan dalam diri pengunjung. Ritus ini diyakni mempunyai daya magis yang tinggi dan bisa merenggut nyawa orang. Karen aitu para para wisatawan, terutama wisatawan domestic merasa enggan untuk ke Kelimutu lagi karena mempunyai daya magis yang tinggi. Persoalan bunuh diri ini, menambah kecemasan dalam diri pengunjung. Mereka mulai beranggapnan bahwa, Kelimutu selalu menutnut korban nyawa manusia setiap tahunnya. Padahal jika dipikir secara kritis, perilaku bunuh diri ini murni merupakan tindakan subjektif individual karena motif tertentu.
Terhadap persoalan seperti ini, dalam terang Gaudium et Spes No.30, hendaknya perilaku individual kita harus dibatasi dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan public. Paiwisata bersubjekan banyak pengunjung, sehingga segala bentuk ritual budaya maupun perilaku indivud tertentu, sedapat mungkin untuk tidak mendatangkan kecemasan dalam diri pengunjung. Apalah arti sebuah bojek wisata tanpa kehadiran pengunjung. Ia hayan akan menjadi wisata bisu yang gema keindahannya tidak didengarkan orang lain. Meskipun panorama pariwisara tersebut sangat indah, tetapi dianggap berpotensi mendatangkan bahaya, orang akan tetap merasa enggan untuk berkunjung dan menikmatinya. Karena itu, berbgai praktik ritual dan perilaku individual seperti ini, mestinya diadaptasi dan diatasi sehingga tidak menghalnagi public utnutk mengunujng dan menikmatinya. Hal ini mungkin terjadi bila masing-masin gperorangna dan kelompok mengmanbkan keutamaan-keutaman moral dan sosial ddalam diri mereka (GS No.30, pargraf ke-2).

Seksualitas Dalam Tiga masalah Aktual (Sebuah tinjauan Menurut Gereja Katolik)

I. Pendahuluan
Pandangan Gereja Katolik tentang moralitas seksual dewasa ini memang seperti berada berdampingan dengan pelbagai pendangan lain tentang sekualitas yang tengah berkembang dan hidup dalam masyarakat dan dunia kita. Ada yang mengatakan bahwa seks merupakan urusan pribadi dan karena itu tidak bisa diatur oleh apapun selain oleh pribadi bersangkutan. Yang lain beranggapan bahwa seks merupakan bagian integral dari diri yang bebas dan karena itu tidak ada satu larangan pun yang bisa membatasi tindakan seksual.
Dari persepektif semacam ini kita melihat bahwa ternyata ada sekian banyak pandangan yang salah dan keliru atas seksualitas yang manusiawi. Gereja mengajarkan bahwa karakter relasional dari aktifitas seksual merupakan aspek yang sangat penting, dan dari situ muncul suatu kriteria moral dalam mengevaluasi tindakan seksual. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa pandangan Gereja tentang moralitas seksual boleh dicirikan oleh konsep “relasi yang bertanggung jawab.” Sebab bagaimanapun setiap bentuk relasi manusia harusnya bertanggung jawab dan bukan eksploitatif.
Karena itu pada kesempatan ini kita akan menyelami dinamika perkembangan Gereja Katolik, tentang makna seksualitas manusia yang berdimensi unitif, prokreatif, dan relasional tentu dalam kaitannya dengan cinta dan perkawinan. Di samping itu, kita akan juga membahas masalah-masalah aktual seperti kontrasepsi, hubungan seks pranikah, dan perselingkuhan, ketegangan antara ajaran moral Gereja yang keras di satu sisi, dan realitas konkret yang dihadapi umat di lain pihak.
II. Beberapa Masalah Aktual
1. Kontrasepsi
1.1 Penjelasan tetnag istilah
Kata kontrasepsi menjadi istilah yang sering kali salah dimengerti oleh banyak orang. Misalnya orang memahami kontrasepsi sebagai perlindungan dari penyakit menular tertentu (penyakit kelamin atau HIV AIDS). Padahal kata kontrasepsi berasal dari dua kata: contra + conception). Contra berarti melawan dan conception berarti pembuahan. Jadi, kontrasepsi sebetulnya merakan perlawanan terhadap pembuahan. Dengan kata lain, kontrasepsi berarti alat atau cara yang digunakan untuk melawan terjadinya pembuahan.

1.2 Macam-macam Kontrasepsi
a. Kondom, merupakan jenis kontrasepsi penghalang mekanik. kondom mencegah kehamilan dan infeksi penyakit kelamin dengan cara menghentikan sperma untuk masuk ke dalam vagina. Kondom pria terbuat dari bahan latex (karet), polyurethane (plastic), dan kondom perempuan terbuat dari polyurethane.
b. Diafragma, meupakan alat kontrasepsi yang berbentuk tudung/mangkuk yang terbuat dari karet dan bersifat fleksibel. Selain mencegah kehamilan, diafragma juga efektif mencegah kanker rahim. Untuk menggunakannya diafragma dilengkapi dengan zat pembunuh sperma.
c. Suntikan, biasanya diberikan setiap 3 bulan sekali. Suntikan kontrasepsi mengandung hormon progesteron yang menyerupai hormon progesterone yang diporduksi oleh wanita selama dua minggu pada setiap awal siklus menstruasi. Hormon tersebut mencegah wanita untuk melepaskan sel telur sehinga memberikan efek kontrasepsi.
d. Susuk, merupakan alat kontrosepsi yang berbentuk batang dengan panjang sekitar 4 cm yang di dalamnya terdapat hormon progesterone, dan dimasukan ke dalam kulit di bagian lengan atas. Alat kontraseksi ini secara efektif dapat digunakan selama 3 tahun.
e. Pil, mengandung kombinasi hormon estrogen dan progesteron, dan merupakan salah satu cara pencegahan ekonomi paling ekonomis karena harga paling murah. Pil; ini bekerja dengan cara mencegah ovulasi, dan mengentalkan lender serviks sehinga tidak bisa mencapai uterus.
f. Sterilisasi, metode ini merupakan salah satu alternatif pencegahan kehamilan secara permanen. Pada perempuan produk ini dikenal dengan istilah tubektomi, yaitu pemotongan atau penutupan saluran telur, dan pada laki-laki melalu proseur vasektomi, yaitu pengikatan atau pemotongan saluran sperma.

1.3 Penilaian Moral Katolik Terhadap Tindakan Kontrasepsi
Sikap Gereja Katolik terhadap praktik kontrasepsi secara amat nyata terbaca dalam ensiklik Humanae Vitae (selanjutnya HV) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968. Secara garis besar HV menegasakan bahwa perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudananya haruslah sesuai dengan kehendaknya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerja sama denganNya untuk mendatangkan kehidupan baru.
Untuk memahami pengaturan kelahiran, sesorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, harus dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Allah mengingingkan agar di dalam ikatan perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saing menguduskan dan bekerja sama untuk mendatangkan kelahiran. Maka, untuk kedua orang yang sudah dibaptis, perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8).
Dalam perkawinan terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu persatuan dan prokreasi (HV 12), artinya perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka terhadap kehidupan baru. Dalam hal ini kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (bdk Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan. Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak maka hal itu bukan merupakan tindakan yang sejati. Tindakan yang mencegah sebagaian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak prokreasi dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik sebagai bukti kasih sejati (HV 16).
Namun Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi disebut dosa dan pada kasus tertentu untuk menyembuh penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15). Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16).
Pengaturan KB alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “janganlah kamu saling menjauhi kecuali bersama dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1 kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (bdk. Ibr 13:4). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin, dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri. Di akhir ensiklik, Paus menegaskan bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa mengormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian kasih (HV 31).

2. Seks Pra-nikah dan Seks Bebas
2.1 Pembatasan Istilah
Seks Pra-Nikah sebetulnya lebih merujuk pada hubungan seksual (persetubuhan) yang dilakukan oleh mereka yang berada pada proses untuk melangsungkan pernikahan. Hubungan ini bisa terjadi pada masa pacaran atau pada masa pertunanganan. Sedangkan term free sex atau seks bebas lebih merujuk pada mereka yang melakukan praktek hubungan seksual (persetubuhan) dengan lebih dari satu pasangan tanpa ikatan, janji atau proses untuk sampai kepada pernikahan.

2.2 Penilaian Moral terhadap Hubungan Seks di Luar Nikah
Sikap Gereja Katolik menolak dan melarang hubungan seksual di luar nikah sebetulnya berakar pada hukum natural yang melekat pada manusia itu sendiri. Bahwa demi menghargai martabat manusia yang jauh lebih tinggi dari segala ciptaan yang lain, maka tampak bahwa hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan bisa: merendahkan dan menghina kebajikan nilai seksualitas manusia itu dan bahwa manusia dipanggil selalu untuk bersatu secara utuh sebagai pribadi-pribadi dengan komitmen sempurna untuk saling memberi diri satu sama lain. Hubungan seksual tanpa menikah merendahkan maksud ini, karena yang dicari semata-mata adalah kepuasan seksual tanpa komitmen yang diikrarkan untuk saling mencintai, menghormati satu sama lain.
Ajaran Gereja tentang immoralitas hubungan seksual di luar pernikahan juga terutama berdasarkan pada keyakinan bahwa sabda Allah sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci dan tradisi secara bersamaan menghukum tindakan hubungan seksual seperti itu. Kitab Kejadian 1:27 mengatakan bahwa, ”Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya... dan sebagai laki-laki dan perempuan Ia menciptakan mereka.” Kesecitraan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki martabat yang luhur dan tinggi dibandingkan dengan segala ciptaan yang lain. Oleh karena martabat laki-laki dan perempuan yang luhur inilah, maka persatuan seksual menuntut pemberian diri yang total, cinta yang bebas dan utuh tak terbagi. Di luar ini hanya akan ada kebohongan dan pembungkaman terhadap bahasa dalam tubuh pria dan wanita itu sebagai pribadi bermartabat sejajar, sebagaimana dikaruniai oleh Allah sendiri. Literatur Kebijaksanaan misalnya selalu mengingatkan manusia supaya berhati-hati atau waspada terhadap dosa-dosa yang bisa muncul karena dorongan hawa nafsu yang tak teratur ini. Karena itu segala bentuk perzinahan atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan digambarkan sebagai suatu pemurtadan terhadap Allah dan memilih untuk mengabdi kepada berhala-hala.
Ajaran kitab suci perjanjian baru juga menilai segala bentuk hubungan seksual di luar ikatan perkawinan sebagai suatu dosa serius. Ajaran ini tampak dalam sejumlah pemakaian istilah porneia untuk mengutuk relasi seksual tanpa atau di luar ikatan perkawinan. Kata ini selalu diartikan dengan perzinahan. Padahal sebetulnya kata ini juga tidak hanya merujuk semata-mata pada hubungan seksual sebelum menikah. Matius dan Markus misalnya mengatakan bahwa Yesus memasukkan porneia dalam daftar tindakan jahat yang membuat seseorang menjadi tak murni (Mt 15,19; Mk 7:21). Dalam semua tulisannya St. Paulus selalu mengajak umatnya untuk menjauhi percabulan. Misalnya kepada jemaat di Korintus dia mengingatkan bahwa tubuh sama sekali tidak dimakudkan untuk percabulan tetapi untuk Tuhan (I Kor 6:13,14). Paulus kemudian meminta: Jauhkanlah dirimu dari percabulan. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi diluar dirinya (tubuhnya); Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Tidak tahukan kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah (I Kor 6:18-19).
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio no. 11 menulis: Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.” Penyerahan diri yang total ini mungkin kalau pria dan wanita itu tidak memisahkan seksualitas dari aspek spiritual (kejiwaan atau kerohanian) yang melekat pada tubuh mereka. Dalam kasus free sex orang hanya memberikan tubuhnya sesaat saja dalam persetubuhan dan setelah itu mereka berpisah, saling meninggalkan satu sama lain, karena tiadanya ikatan. Ketidakhadiran karena perpisahan inilah yang justru membohongi bahasa dalam tubuh yang memang selalu rindu untuk bersatu dengan pribadi lain secara utuh dan terus menerus.
Konsili Vatikan II mempertegas kebenaran ini: persetubuhan itu luhur dan terhormat. Jikalau tindakan ini dilaksanakan secara manusiawi, maka akan sangat berpengaruh kepada penyerahan diri timbal balik di antara suami dan istri (Gaudium et Spes 49). Itu sebabnya tidak ada persetubuhan yang benar, kalau tidak dilandasi oleh cinta kasih yang total, pemberian diri yang sempurna, yang merujuk pada ikatan perkawinan. Sebab dalam ikatan perkawinan tindakan persetubuhan sejalan dengan tuntutan dan dijamin oleh pemberian diri yang total, ketulusan, kesetiaan, prokreasi dan panggilan untuk pendidikan anak-anak. Di luar ikatan perkawinan sekali lagi aktivitas genital itu tidak lain suatu kebohongan.

3. Perzinahan dan Perselingkuhan
3.1 Arti Perselingkuhan
Perselingkuhan bisa juga disebut sebagai berzinah ketika seorang suami atau istri melanggar janji perkawinan yang telah mereka ucapkan di hadapan Tuhan untuk saling setia satu sama lain dalam suka dan duka, dalam untug dan malang. Janji itu dilanggar dengan melakukan tindakan persetubuhan, yang artinya pemberian tubuh dan diri pribadi yang total bukan lagi kepada pasangan resminya, melainkan pada pihak ketiga di luar ikatan perkawinan itu sendiri yang tak terpisahkan dan tak terceraikan.

3.2 Penilaian Moral Kristiani tentang Perselingkuhan
Ajaran kitab suci Perjanjian Lama dengan jelas memperlihatkan perkawinan antara seoarang laki-laki dan seorang perempuan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Persatuan asali yang terjadi pada awal mula ketika Allah membawa perempuan kepada manusia (Adam) dengan jelas menegaskan persatuan yang memang tak mungkin terpisahkan lewat term SATU DAGING. ”Kata manusia itu: ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”..sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu” (Kej 2:23-24). Dengan ini jelas bahwa sejak awal mula Allah memang menghendaki perkawinan itu monogami (antara seorang lelaki dan seorang perempuan).
Dalam tulisan Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus secara tegas menghukum dengan keras segala bentuk perzinahan. Bahkan Ia menyatakan bahwa akar dari segala perzinahan, sebetulnya adalah ketegaran hati manusia itu sendiri. “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18, lih. Mrk 10:11). Tema ini kemudian dikembangkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:28-33. Paulus menggambarkan ikatan perkawinan sebagai suatu ikatan yang tak terpisahkan dan menjadi tanda ikatan yang sempurna antara Kristus dengan Gereja.
Pesoalan perselingkuhan atau perzinahan juga mendapat sorotan khusus dalam Katekismu Gereja Katolik. Katekismus lebih menilai perselingkuhan sebagai suatu ketidaksetiaan suami istri dan sebagai suatu praktek ketidakadilan dengan merujuka selalu pada ajaran Kitab Suci. Kedua hal ini bisa dibaca pada No. 2380: Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Selanjutnya pada No. 2381 dikatakan: Perzinahan adalah satu ketidakadilan. Siapa yang berzinah, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian dalam kaca mata Kristiani perselingkuhan adalah dosa.

III. Penutup
Seksualitas memang selalu mempesona. Daya tarik seksual bisa membangkitkan dan membingungkan kita. Dalam etika moralitas kristiani, penjelasan tentang moralitas seksual mestinya diajarkan dalam Gereja dengan semangat sebagaimana yang Kristus ajarkan sendiri. Bagiamanapun tema moralitas seksual tidak bisa terpisahkan dari kesetiaan Gereja kepada ajaran Kitab Suci, wahyu Tuhan sendiri, yang melihat seksualitas manusia sebagai baik adanya, dan bahwa Kitab Suci serta ajaran magisterium Gereja tidak lain dimaksudkan untuk menghantar semua orang yang berkehendak baik kepada suatu bentuk penghayatan seksualitas yang manusiawi, yang sesuai dengan martabatnya sebagai Gambar dan Rupa Allah.

Dibawakan dalam pertemuan dengan
OMK di paroki Watuneso-Ende
(Hasil rangkuman bahan kuliah Moral Seksualitas Semester 6 STFK Ledalero)

Rabu, 23 Juni 2010

MISI FLORES DAN KOLONIALISME PEMERINTAHAN JEPANG (Ziarah Perjalanan Pastoral Mgr. Henricus Leven SVD Selama Pemerintahan Jepang 1942-1945)



I. Prolog
Sejarah misi Solor hanya menjadi cerita indah yang diwariskan turun-temurun ketika Pater Piet Noyen menginjakkan kaki untuk pertama kali di pulau Flores pada tahun 1914. Misionaris perdana dari Serikat Sabda Allah itu, harus berpikir keras karena mendapati ribuan umat Katolik di kepulauan Flores yang sudah dibaptis tetapi pola hidupnya masih kafir. Dari Lahurus Timor, ia pun berpindah ke Flores dan mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pusat misi. Pilihan pertama mestinya jatuh di Larantuka, tetapi karena alasan blokade wilayah Flores karena letak kota Larantuka yang jauh di ujung timur pulau Flores, maka dipilih Ende sebagai pusat misi kepulauan Solor baru. Sejak itu saat itu istilah misi Solor mulai diganti dengan misi kepulauan Flores atau juga misi kepulauan sunda kecil.
Permulaan ini tentunya menjadi awal yang gemilang dari pertumbuhan dan perkembangan Gereja di Nusa Tenggara. Pihak pemerinmtah, dalam hal ini pemerintahan Hindia Belanda mempunyai respon yang amat positif dengan kehadiran Gereja. Tidak ada hambatan atau tantangan yang diperoleh. Gereja dan rumah misi pun didirkan. Begitu pula dengan sekolah-sekolah Katolik pertama seperti di Ndao, Lela, Larantuka, dengan sistem kurikulum yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu para misionaris Serikat Sabda Allah pun dengan berani mendirikan sebuah seminari kecil di Sikka pada tahun 1926.
Seiring dengan perkembangn waktu, pada tahun 1941 kedua imam pribumi pertama pun ditahbiskan di Gereja Nita oleh Mgr. Leven. Mereka itu adalah P. Gabriel Manek, SVD dan P. Karel Kale Bale, SVD. Dalam sejarah Gereja lokal perisitiwa tahbisan ini merupakan sebuah revolusi besar. Gereja tidak lagi diidentikan dengan orang kulit putih tetapi kini juga menjadi bagian dari umat pribumi. Tidak ada lagi dikotomi orang Belanda dan orang Indonesia. Semuanya bersatu dalam iman yang sama kepada Yesus Kristus.
Meskipun demikian pada tahun yang sama (1941) menjadi awal sejarah sulit Gereja Katolik di Flores. Gereja mengalami masa-masa terberatnya dalam sejarah Gereja lokal karena pada tanggal 7 Desember perang meletus di kawasan pasifik ketika Jepang menyerang pangkalan laut Amerika serikat di Pearl Harbour, Hawai. Perang ini ternyata merambat sampai ke Flores, Hindia Belanda. Setelah Belanda menyatakan diri bergabung dengan pihak sekutu Amerika untuk melawan Jepang, maka mulai terasa bahwa perang mesti menuju ke Indonesia, bahkan sampai ke Flores.
Buku ini merupakan kumpulan catatan perjalanan Mgr. Leven, SVD serta situasi misi Flores selama masa pemerintahan Jepang. Perang meletus sampai ke Flores terutama bukan karena kehadiran Gereja yang dinilai menghambat gerak langkah Kolonialisme Jepang tetapi ini merupakan bagian dari antipati terhadap karya misi yang dilakukan pemerintahan Jepang. Gereja Katolik identik dengan Belanda dan Jerman yang merupakan musuh mereka. Karena itu berbagai cara mereka lakukan untuk mendeportasikan para misionaris. Tentu saja hal ini menyulitkan karya misi di Flores yang baru saja merekah. Mgr. Leven harus berpikir dan bekerja keras untuk mengatasi semua masalah dalam situasi seperti ini.
Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan sosok seorang Mgr. Leven SVD (karena buku ini merupakan catatan perjalanannya) dan situasi misi Flores selama pemerintahan Jepang. Dua hal inilah yang patut dikemukanan dalam tulisan ini berdasakan pemahaman saya terhadap buku karya Mgr. Leven ini. Buku ini merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Gereja lokal di Flores.

II. Sekilas Tentang Mgr. Henricus Leven SVD
2.1 Riwayat Hidup
Mgr. Henricus Leven SVD lahir di Lank, dioses Aken, Jerman, pada 13 Juni 1883. Pada tanggal 3 Oktober 1899 ia masuk di Steyl, Belanda untuk dididik menjadi imam imam misionaris Serikat Sabda Allah. Pada tangggal 29 September dia ditahbiskan menjadi imam di rumah misi St. Gabriel, Wina, Austria. Setelah ditahbiskan ia berangkat ke daerah misi di Togo, Afrika. Karena perang dunia I dia menjadi tawanan Inggris dan dideportasikan ke Eropa. Dalam bulan Oktober 1920 dia bertolak ke Indonesia, dan bekerja mula-mula di timor sebagai pastor paroki, tetapi menangani secara khusus bidang persekolahan. Pada tahun 1927 dia dipindahkan ke Ndona, Flores, dan diangkat sebagai provikaris. Sesudah meninggalnya Mgr. Arnoldus Vestraelen, SVD, dia diangkat oleh Bapa Suci menjadi vikaris apostolik yang baru. Tahbisannya menjadi uskup dilangsungkan di uden, Belanda.
Selama kepemimpinannya, wilayah Gerejani kepulauan sunda kecil yang mula-mula meliputi wilayah seluruh Nusa tenggara sebagai satu vikariat apostolik telah mengalami perkembangan dan pemekarannnya selama masa pimpinan Mgr. Leven sampai ia sendiri meletakan jabatan dan tutup usia. Perkembangna dan pemekaran itu antara lain; pembentukan vikariat apostolik Timor pada 25 Mei 1936, pembentukan prefekur Apostolik Denpasar pada 10 Juli 1950, pembentukan tiga vikariat apostolic yakni Ende, Larantuka, dan Ruteng pada 8 Mei 1951.
Menjabat sebagai kepala Gereja di Flores, bagi Mgr. Leven adalah satu anugerah Tuhan yang sangat istimewah, bahwa kehidupan Gereja dapat dilanjutkan kendati dengan pelayanan hanya oleh sejumlah kecil imam dan bersama dengan kaum awam yang aktif sampai dengan berakhirnya perang di Asia. Hanya beberapa bulan menjelang pecahnya perang pasifik Mgr. Leven sangat beruntung karena boleh menahbiskan dua imam pribumi pertama, P. Gabriel Manek SVD dan P. Karel Kale Bale SVD di Nita 28 Januari 1941.
Sebagai mahkota atas seluruh karyanya yang ditandai oleh salib harapan yang tunggal serta atas pengorbanannya melewati masa yang penuh ketegangan dan penderitaan, Mgr. Leven boleh mengalami hati terbesar Gereja yang dipimpinnya di Flores, ketika dia menahbiskan tiga uskup sebagai tanda pemekaran vikariat Ende manjadi tiga vikariat pada 1951. Satu dari tiga uskup itu adalah uskup pribumi pertama dari Flores, yakni Mgr. Gabriel Manek SVD, yang menjadi vikatis apostolik untuk vikariat Larantuka. Itulah sinar fajar yang semakin cerah, yang menandakan segera tiba saatnya hirarki Gereja di Nusa Tenggara yang baru dibentuk pada tahun 1961. Setelah itu dengan hati tenang dan bahagia dia mengundurkan diri dan meletakan jabatannya. Ketika kesehatannya menjadi semakin rapuh, Mgr. Leven kembali ke Eropa dan berdiam dalam rumah misi di Steyl sampai ajalnya.

2.2 Menyelisik Kepribadian Mgr. Leven SVD
Tidak semua pemimpin mampu mengendalikan wilayah kepemimpinanannya dengan situasi politik yang amat sulit dan menantang. Tetapi tidak bagi uskup Mgr. Henricus Leven. Dia adalah gambaran peminpin Gereja lokal yang tangguh dan sejati. Masa-masa kepeminpinannya adalah suatu rentang waktu tersulit dalam sejarah Gereja lokal. Dia adalah seorang uskup besar yang pernah ada di wilayah kita. Beberapa hal yang bisa kita lihat dari keutamaan Mgr. Henricus Leven SVD.
a. Seorang yang tekun dan sederhana
Mgr Leven adalah seorang pekerja keras dengan sosok yang amat sederhana. Ketika dipilih menjadi pemimpin Gereja Katolik di Flores, dia menyerahkan diri secara total untuk kepentingan misi Flores. Dalam kata pengantar dalam buku ini, P. Alex Beding menulis sosok yang satu ini sebagai otang yang tekun dan sangat sederhana. “ Ketika hampir semua misionaris dideportasikan keluar Flores, Uskup H. Leven mendadak seperti ditinggalkan seorang diri. Tapi dia terus setia berkunjung sampai ke stasi-stasi jauh yang terpencil, dan dia melihat bagaimana umat dengan setia datang ke perayaan-perayaan keagamaan dan menreima saktamen-sakramen. Dia mengunjungi mereka bukan dalam kualitas sebagai uskup, melainkan sebagai pengganti Pastor yang harus meninggalkan mereka, dan memberikan pelayaan rutin kepada umat di desa-desa, dan dusun-dusun yang terpencar dari ujung timur sampai ujung barat Flores. Dia menjadi seorang pastor gunung dan dekat sekali dengan orang-orang sederhana” (hal. 7).

b. Seorang Uskup yang agung dan berwibawa
Serelah menjadi Uskup, ia banyak terlibat dalam tugas-tugas yang berat dan menumpuk. Dari penampilan saja sudah memberi kesan bahwa tidak mudah orang bertemu dengannya dan mendekatinya. Sebagai seorang pemimpin Gerejani dengan martabat keusukupan dia nampak agung dan berwibawa. Tasuku sato dalam dalam bukunya Aku Terkenang Flores menuliskan kesan-kesannya waktu bertemu dengan uskup Leven petama kali: “ ketika saya bertemu orangnya saya menjadi sangat kikuk. Saya tidak tahu entahkah harus mempersoalkan penahanannya atau pura-pura tidak tahu menahu. Kunjungannya itu, meskipun resmi tapi ramah tamah. Ia datang dengan mengenakan pakaian Uskup sebagai tanda hormat kepada komandan baru. Mau tidak mau orang akan tergerak hatinya oleh sikap Uskup yang luhur itu. Ia bersikap penuh ramah tamah dan penuh kebesaran, sehingga saya tidak merasa bahwa saya sedang berbicara dengan seorang musuh” (Aku Terkenang Flores, cet. ke-2, 2005). Boleh dikatakan bahwa itu merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi sikap dan respek tentara Jepang pada umumnya terhadap Gereja Katolik di Flores yang dipimpin oleh Mgr. Leven.

c. Berpihak pada Gereja Lokal
Tahun 1941 adalah saat berahmat ketika ia menahbiskan dua imam pribumi pertama. Namun, oleh kebanyakan orang peristiwa ini masih dilihat sebagai suatu terobosan yang amat berani yang dilakukan oleh Uskup Leven ketika dia berani dan mengangap layak tahbisan kedua imam pribumi pertama itu. Apakah sudah saatnya sekarang seorang pribumi dipercayakan memimpin dan mengambil bagian dalam pelayaan sakramental. Tetapi ia dengan penuh iman menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada dua iama pribumi perdana tersebut. Sudah saatnya sekarang orang-oran gpribumi menumbuh-kembangkan Gerejanya sendiri. Sebelumnya itu, pada tahun 1937 ia mendirikan serikat suter pribumi, yaitu serikat suster-suster pengikut Yesus (CIJ). Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa orientasi kepemimpinanya diarahkan pada perekembangan Gereja lokal terutama dalam hubungan dengan para agen pastoral.

III. Misi Flores Selama Masa Pemerintahan Jepang
Buku ini merupakan catatan perjalanan dari seorang uskup Mgr. Leven SVD. Di dalamnya berisikan pengalaman-pengalaman yang berkisah tentang situasi misi Gereja Katolik selama masa pemerintahan Jepang. Dalam bagian ini akan diuraikan keadaaan misi Flores selama masa pemerintahan Jepang baik itu situasi sulit yang dialami Gereja maupun hal-hal yang menggembirakan.

3.1 Situasi yang Menyedihkan
3.1.1 Bom- bom yang Berjatuhan
Kota Ende seperti lautan api. Pada hari Minggu tanggal 15 Februari1942 sekitar pukul 10.00 ketika peraayan ekaristi sudah selesai dan umat sudah kembali ke kampung halaman mereka, terdengar bunyi pesawat yang menderu dari arah jauh. Semua orang ketakutan ketika menatap delapan buah pesawat yang melepaskan bom-bom secara membabi buta. Semu orang mencari perlindungan. Terhadap situasi ini Mgr. Leven menulis :
“saya masih melihat satu asap kekuningan di bawah pesawat-pesawat itu, dan setelah saya masuk ke dalam tempat persembunyian, kami mendengar ledakan-ledakan yang pertama…..ketika tidak terdengar lagi bunyi pesawat-pesawat itu kami kaluar dan dari pendopo nampak kepulan asap hitam di atas kota Ende”(hal. 13).
Tujuan utama dari pemboman ini adalah menghancurkan stasiun Radio di kota Ende. Meskipun semuanya ada 42 bom yang dijatuhkan tetapi stasiun radio hanya mengalami sedikit kerusakan karena pada malam harinya radio bisa berkumandang lagi di udara. Dalam pemboman pertama ini tidak banyak rumah-rumah misi yang hancur, tetapi tentu saja ini mendatangkan ketakutan yang amat mendalam di kalangan masyarakat. Ratusan siswa yang tergabung dalam sekolah misi pun menjadi ketakutan.
Pemerintah Jepang pertama kali tiba di Reo-Mangarai, dan perlahan-lahan bergerak menuju ke arah timur pulau Flores. Pada tanggal 15 Mei 1942, para tentara Jepang sudah berkeliaran di kota Ende. Tidak lama kemudian kira-kira pukull 14.00 siang telpon bordering dan Bapa Uskup mendapat panggilan bersama semua Pastor, Bruder, dan Suster untuk segera ke Ende menghadap komandan. Dari pembicaraan yang dilakukan, para Pastor dan Suster dilarang untuk keluar dari kota Ende. Hampir kebanyakan para misonaris adalah kebangsaan Belanda dan Jerman. Tetapi Bapa Uskup berusaha menjelaskan bahwa kedatangan mereka bukan merupakan utusan dari pihak kolonial tetapi diutus oleh kepala Gereja katolik di Roma. Ketika mendengar nama Italia, mereka semakin lunak karena Italia bersekutu dengan mereka. Semua para misionaris kemudian dibiarkan untuk pulang ke Ndona, dengan dua catatan yakni tidak boleh keluar dari Ndona dan kehadiran mereka hanya untukmengajarkan agama Katolik.
Misi Flores pun mulai memasuki babak baru dalam saat-saat yang paling berat. Meskipun tidak ada korban nyawa tetapi kehadiran pemerintahan Jepang tentu berdampak buruk bagi perekembangan Gereja Katolik di Flores ke depannya. Ketakutan terbesar adalah ketika para misonaris dibatasi gerak langkahnya atau bahkan dideportasi. Tidak akan ada lagi pengajaran di sekolah-sekolah. Kecemasan juga muncul ketika memikitkan bagaimana nasib pendidikan calon imam pribumi.
Bom kembali berjatuhan ketika perang mulai berakhir pada bulan Desember 1945. Kali ini bahkan lebih dasyat dari sebelumnya karena banyak korban yang tewas dan luka-luka serta berbagai rumah dan gedung-gedung hancur berantakan, termasuk di dalamnya Gereja Katedral dan beberapa gedung misi. Mgr. Leven kembali melukiskan peristiwa pemboman ini,
“Selanjutnya telah terjadi serangan-serangan yang lebih kurang gencarnya pada tanggal 8,14,18,19 dan 21 Desember. Paling hebat terjadi pada tanggal 18 Desember oleh 21 pesawat terbang. Pada hari itu sebuah gudang kopra terkena bom. Tapi selain dari itu kerugian militer kecil saja, kalau tidak dikatakan nihil, sedangkan kerugian besar diderita oleh orang-perorangan, dan paling berat di kompleks Cina dan Misi. Menurut berita dari kantor Raja, 32 orang tewas dan 100 orang menderita luka-luka, banyak di antaranya kemudian meninggal dunia, selanjtnya 200 telah hancur, sehingga plus-minus 1000 orang kehilangan tempat tinggalnya” (hal. 146-147).
Peristiwa ini tentu menambah beban karya misi baik dalam pelayanan karitatif maupun dalam usaha membangun kembali sarana dan prasarana yang telah hancur.

3.1.2 Para Misionaris Diinternering
Hal yang paling ditakuti Gereja yakni gerak langkah para misonaris dibatasi akhirnya terjadi juga. Semua para misonaris dari seluruh wilayah akhirnya ditampung di Ndona-Ende. Kesepakatan awal bahwa hanya orang Belanda yang diinternering ternyata tidak berlaku lagi. Semua para misonaris asing termasuk misonaris Jerman dan Belanda akhirnya diinternering di Ndona. Keadaan seperti ini mendatang kesulitan dalam misi Gereja Katolik terutama dalam pelayanan sakramen. Tidak ada satu misionaris pun yang berkarya di wilayah Flores. Bapa Uskup mulai mengatur jadwal kunjungan keliling Flores, dari Ende sampai Mangarai, dan memberikan pelayaan sakramane kepada umat. Ternyata umat masih antusias dan rajin datang ke Gereja menerima sakramen. Bapa Uskup Leven menulis pengalamannya ini.
“saya mulai dengan perjalannan misi yang paling menyedihkan dan paling emosional sepanjang tahun-tahun pengalaman misoner saya. Dalam seluruh wilayah dari Ende sampai ujung paling barat wilayah Mangagarai tidak ada seorang misonaris, tidak ada satu tempat dimana dilangsungkan kurban misa suci untuk 130.000 umat Kristen, tidak ada sebuah tabernakael tempat para beriman boleh memperoleh penghiburan dan kekuatan dalam kesusahan-kesuahan mereka. Dan sekarang, saya sebagai satu-satunya imam yang bebas akan pergi mengunjungi mereka, untuk menghibur, meneguhkan, dan memberikan semangat serta kepercayaan” (hal. 38).

Sementara itu para Imam, Bruder, dan Suster yang diinternering di Ndona tidak bisa berbuat apa-apa. Gerak langkah mereka dibatasi. Dalam keadaan seperti itu mereka berusaha mengisi waktu internering dengan hal-hal yang berguna seperti berdoa dan bekerja. Dalam berdoa Suara mereka menggema dengan syadu dalam seruan dan nyanyian: “Miserere nobis, selamatkanlah kami ya Tuhan”. Disamping itu dibentuk klub-klub studi dan diberikan pelajaran bahasa Inggris dan melayu, dan soal-soal katakese dan pendalaman iman umat. Para Suster sibuk dengan urusan pekerjaan di dapur, kamar cuci dan kamat seterika. Dengan terkumpulnya suatu komunitas yang demikian besar, banyak sekali yang diperlukan untuk melayani kepentingan jasmani.

3.1.3 Deportasi Para Misionaris
Saat-saat yang paling menyedihkan adalah saat perpisahan dengan para misioanris yang harus meninggalkan pulau Flores dan dideportasi, pulang ke Negara mereka masing-masing. Momen itu dilukiskan sebagai saat yang paling mengharukan. Sebelum makan siang semua Pater, Bruder, dan Suster berkumpul dalam Gereja untuk menyanyikan Ave Maris Stela. Pater Regional menyampaikan suatu sambutan yang sangat mengharukan. Ia menasihati mereka supaya tetap menaruh harapan pada penyelnggeraan ilahi, yang pasti tidak menyia-nyiakan semua doa-doa yang telah dipanjatkan selama ini dan di tempat ini. Setelah itu mereka semua berdoa: “Non Nobis Domine, non Nobis sed Domini tuo da glotiam (bukan kepada kami ya tuhan buikan kepada kami tetapi kepadamulah diberikan pujian”. Bapa Uskup Leven, tidak bisa berbicara pada waktu itu karena merasa terlalu berat untuk diungkapakan,. Ia hanya bisa memberkati mereka dan memberikan tanda mata berupa Rosario bagi masing-masing mereka yang datang pamit kepadanya. Setelah kepergian para misionaris, Ndona yang selama ini ramai karena penampungan kini sepi seolah tak berpenghuni. Dalam cararan harianya, Mgr. Leven menulis,
“Ndona yang selama dua bulan penuh dnegan tamu-tamu dan sibuk, kini menjadi lengang dan bagaikan mati. Selamat jalan, gembala-gembala dan pekerja-pekerja setia dalam kebun anggur Tuhan. Terima kasih dan pujian untuk jerih payah dan karyamu. Semoga bintang Laut menuntun dan melindungi kalian, sampai berjumpa lagi. Sampai bertemu dalam waktu dekat!” (hal 46).

Setelah ditinggal pergi oleh para misionaris, situasi menjadi sangat lain. Misi Flores seperti mulai lagi dari awal. Bersyukur ada lima orang misionaris yang tinggal, yakni Pater Frans Cornelissen untuk kepentingan pendidikan Seminari Mataloko, Pater Koesmeester utnuk Novisiat di Ledalero. Sedangkan Bruder Galus boleh tinggal karena lanjut usia dan Bruder Vitalis bisa tinggal Karena mendapat serangan ginjal dan menurut keterangan dokter tidak boleh dibawa ke mana-mana. Dengan komposisi seperti ini mereka seolah-olah memulai karya misi dari awal lagi. Bersyukur bahwa ada imam pribumi yang ditahbiskan sehingga bisa membantu karya pelayanan sakramen. Pada tanggal 15 Agustus 1942 ada dua imam baru yang tahbisakan yakni P. Yan Bala Letor, dan P. Rufinus Pedrico. Dengan demikian jumlah imam pribumi menjadi empat orang.


3.2 Situasi yang Menggembirakan
3.2.1 Pendidikan Calon Imam yang Terus Berlanjut
Setelah Pater Frans Cornelisen diinternering ke Ndona beserta para misionaris lainnya, kini Seminari Todabelu hanya tinggal para siswa sendirian. Dengan alasan itu ketujuh siswa dari kelas tertinggi yang sedang belajar teologi di Ledalero diminta untuk menangani formasi sementara pada saat kekososngan seperi ini. Salah satu dari ketujuhnya adalah Fr. Donatus Djagom, yang dipercayakan untuk mengambil alih kepemimpian sementara seminari Todabelu ini. Mereka mengambil alih semua tugas mengajar dan pembinaan di seminari untuk sementara waktu, sambil berharap para misionaris bisa dibebaskan dari masa internering.
Doa-doa mereka akhirnya terwujud, P. Frans Cornelisen, setelah melalui negosiasi yang panjang akhirnya tidak dideportasi dengan alasan untuk kebutuhan pendidikan seminari Todabelu. Sementara itu P. Kosmeester juga ridak dideportasi untuk menangani Noviat di Ledalero.Meskiun tidak semua harapan mereka terwujud karena harus kehilangan banyak misionaris tetapi adanya kedua misionaris ini menjadi semacam blessing ini disque. Para siswa sangat bahagia ketika menyambut kedatangan kembali P. Frans Cornelisen di Mataloko.

3.2.2 Tahbisan Imam
Selama masa pemerintahan Jepang beberapa imam pribumi ditahbiskan. Ini dilihat sebagai suatu kemajuan yang menggembirakan. Sudah saatnya orang pribumi mengambil bagian dalam pelayanan sakramental. Pada tanggal 15 Agustus 1942 dilangsungkan tahbisan dua imam baru yakni P. Yan Bala Letor dan P. Rufinus Pedrico. Tahbisan lain adalan upacara tahbisan Rm. Lukas Lusi, Pr, Imam sekulir pertama dalam sejaah Gereja Lokal di Flores. Acara pentahbisan itu berlangsung di Todabelu Mataloko pada tanggal 18 Juni 1944. Kali ini dari pemerintahan Nippon dari Bajawa hadir Bun Ken yang baru bersama asistennya. Mereka mengikuti upacara tahbisan sampai selesai dan kembali setelah perjamuan siang hari itu.
Selain itu setahun kemudian diadakan tahbisan dengnan jumlah yang lebih banyak dari sebelum yakni tujuh orang, yakni P. Markus Malar, P. Zacharias Ze, P. Lambertus Lame Uran, P. Aloysius Ding, P. Josef Diaz Viera, P. Bruno Brass, dan P. Piet Muda. Dalam upacara tahbisan ini dibacakan dengan penempatan tugas masing-masing. “ Parate viam Domini, poenitetiam agite. Ite Ego mitte vos sicut agnusinter lupos!” Siapkanlah jalan Tuhan. Bertobatlah, pergilah akumengutus kamu bagaikan domba-doma di tengah srigala-srigala (hal. 167). Peristiwa tahbisan menjadi hal yang amat menggembirakan dan dinilai sebagai suatu mahkota emas (hal 148). Tenaga-tenaga imam pribumi sangat dibutuhkan untuk perkembangan Gereja di Flores selanjutnya. Kita juga patut berbangga bahwa dalam situasi semacam ini seorang imam diosesan akhirnya ditahbiskan. Ini awal yang mengembirakan dalam sejarah Gereja lokal di Flores. Dengan dideportasikan para misonaris, kehadiran mereka sebagai agen pastoral dinilai sebagai berkat sekaligus doa yang terwujud dari para misionaris sebelumnya.

3.2.3 Para Tamu Agung dari Jepang
Pada tanggal 30 Agustus 1943 telah tiba di Flores beberapa tamu agung dari Jepang antara lain Mgr. Paulus Yamaguchi, Uskup Nagasaki, Mgr. Aloysius Ogihara SJ, Administrator apostolic Hirosima, Rm Mikhael Iwanaga imam sekulir dari dioses Nagasaki, dan Rm. Filipu Kuyono, imam sekulir dari prefektu Yokohama. Mgr. Yamguci berbicara dalam bahasa perancis dan Mgr. Ogihara berbicara dalam bahasa Jerman, sedangkan kedua imam lain bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan Latin.
Kehadiran mereka di Flores seperti malaikat penolong di tengah situasi yang carut marut. Setidaknya untuk sementara waktu bisa memperkuat barisan para klerus untuk kepentingan pelayan Sakramental. Pada awalanya pemerintahan Jepang berencana untuk mendeportasikan semua para misionaris di Flores termasuk Bapa Uskup dan posisi mereka diganti dengan Para misionaris ini. Tetapi ketika tiba di Flores situasi berkata lain. Keyakinan dan pengharapan yang sama akan karya keselamatan Allah membuat keempat tamu dan para misionaris barat yang sudah berada di Flores saling bekerja sama demi tujuan yang sama yakni memaklumkan kerajaan Allah.
Pembicaraan-pembicaraan mengenai keadaan misi ataupun negosiasi-negosiasi dengan pemerintahan Jepang kini diwakili oleh Mgr. Yamaguchi. Bersyukur bahwa Mgr. Yamaguchi bisa meyakinkan para komandan Jepang, yang berikhtiar memulangkan semua para misonaris barat. Sementara itu Mgr. Ogihara meminta kepada para misionaris supaya tetap tekun berdoa karena masih ada banyak bahaya dan tantangan yang akan datang. Salah satunya adalah perwira komandan militer. Sikap orang itu sangat tegas. Tetapi syukur bahwa pada hari berikutnya ia dipindahklan ke tempat lain.
Bersama keempat tamu dari Jepang, mulai diatur tugas patroli untuk mengunjungi umat dan memberikan sakramen-sakramen kepada umat. Kunjungan-kunjungan itu diatur terlebih dahulu ke arah timur, dari wilayah Lio, Maumere, sampai ke wilayah Larantuka. Mgr. Yamaguchi sempat menerimakan sakramen Krisma bagi anak-anak di Larantuka. Umat sangat antusias menerima ketiga uskup dan kedua imam tersebut. Setelah itu mereka kembali lagi Ke Ende dan meneruskan perjalanan ke arah barat Flores. Di Bajawa mereka nginap di Mataloko Mgr Yamaguci sempat memberikan tahbisan subdiakon kepada Fr. Adrianus Conterius.
Mgr. Yamguchi kembali ke Ende karena ada urusan dengan pemerintahan Jepang. Di Ende serdadu Jepang merazia semua rumah-rumah misi karena menurut mereka para misonaris masih menyimpan radio-radio. Sementara itu, Mgr. Leven dan Mgr. Ogihara masih melanjutkan kunjungan ke Manggarai. Umat sangat antusias menerima kehadiran mereka. Kedatangan mereka disambut dengan meriah. Umat begitu merindukan kehadiran seorang pemimpin Gereja di tengah situasi yang penuh ketegangan seperti ini.



3.2.4. Perang Berakhir dan Para Misionaris Jepang Mohon Diri dan Kembali
Serangan balasan Amerika dan sekutunya terhadap Jepang, ternyata menimbulkan dampak yang sangat positif bagi Indonesia. Kota Nagasaki dan Hirosima dibumihanguskan dalam waktu sekejab. Kedua kota ini adalah daerah asal keempat misionaris yang datang Ke Flores. Bersyukur mereka bisa diselamatkan karena menjadi misionaris di Flores tetapi kesedihan itu tetap ada dalam diri mereka, memikirkan nasib sanak keluarga dan bangsa yang kini ditimpa kemalangan dan menjadi korban pemboman.
Dengan serangan tersebut, maka perang pun berakhir. Jepang mengaku kalah terhadap sekutunya karena kedua kota yang dibumihanguskan adalah kota penting dan merupakan pangkalan militer Jepang. Situasi ini mempengaruhi semua penjajahan Jepang di wilayah Indonesia. Semua pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah dan meletakan senjata kekuasaan mereka. Semua pasukan Jepang diminta dalam waktu dekat untuk kembali ke Negara mereka.
Dalam skala besar, kekalahan Jepang ini memberikan dampak positif bagi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu dalam konteks Gereja lokal di Flores, berita kekalahan Jepang ini merupakan berita gembira karena pada saat itu semua misionaris dinternering untuk kedua kalinya di Mataloko dan Jopu. Ini adalah suatu berita gembira karena para misionaris bisa kembali kepada situasi semula, bisa kembali ke tempat tugas mereka. Berita tentang kekalahan Jepang itu disampaikan sendiri oleh Mgr. Yamaguchi di Maraloko. Semua mereka diminta untuk tidak bersorak-sorak dulu karena bisa memancing emosi pasukan Jepang.
Di sela-sela kegembiraan, semua para misisonaris harus dengan berat hati melepas pergikan keempat tamu agung dari Jepang. Perang telah berakhir dan mereka harus kembali ke negara dan keuskupan mereka. Sesuatu yang sangat menyedihkan bagi Mgr. Yamaguchi, dimana ia telah merasa menyatu dengan keramah-tamahan para misionaris dan umat di Flores. Tentang situasi perpisahan ini Mgr Leven Menulis;
“Kami melepaspergikan mereka dengan melagukan secara mulia “Ave Maris Stela” di dalam Gereja. Lalu saya sendiri boleh menghantar beliau sampai ke Ende, dimana kami berpamit, dengan harapan akan berjumpa lagi di Roma” (hal. 166).

Setelah para misionaris Jepang meninggalkan Flores, di Mataloko juga sudah mulai dengan persiapan tahbisan untuk ketujuh calon Imam. Ini tentu menjadi berita yang menggermbirakan karya misi. Babak pencerahan kini mulai terkuak. Masa-masa terberat selama pemerintahan Jepang kini sudah berakhir. Selain itu ada beberapa imam muda yang baru ditahbiskan menambah kekuatan barisan para klerus untuk melayani sakramen kepada umat yang tersebar dari ujung barat sampai ke ujung timur pulau Flores. Para imam pribumi kini menjadi partner kerja dengan para misionaris dari Eropa. Sesungguhnya Gereja Lokal kini sedang bertumbuh. Pendidikan para calon imam pun kini dijalankan dengan baik, tanpa ada hambatan lagi. Ini merupakan situasi yang menggembirakan Gereja Lokal.
IV. Catatan Akhir
Dalam sejarah Gereja lokal, misi Flores mengalami situasi terberatnya saat pemerintahan kolonmialisme Jepang berkuasa. Akar persoalan adalah bukan karena Pemerintahan Jepang ridak menaruh respek sekalipun pada agama Katolik tetapi terletak pada persepsiyang mengidentikan misi katolik dengan kolonialisme barat. Ini merupakan bagian dari krisis misi menjelang konsili vatikan II. Pemerintahan kolonialisme Jepang menaruh curiga bahwa para misionaris yang umumnya berasal dari Belanda da Jerman merupakan mata-mata sekutu. Pihak pemerintah Jepang mempunyai respek yang amat tinggi untuk perkembangna Gereja, dan ini terbukti ketika mereka mengirim kedua Uskup dan Imam untuk bekerja di Flores. Namun, dalam pandangan mereka katya misi yang dengan melibatkan para misonaris barat identik dengan kolonialisme. Inilah salah satu krisis yang terungkap dalam buku catatan perjalanan dari Mgr. Leven ini. Pandangan seperti itu (anti kolonialisme) mendapat respon yang tinggi dalam berbagai dokumen misi Gereja. Buku ini, selain mengungkapkan krisis besar ini tetapi terutama situasi sulit selama masa kolonial Jepang. Karena itu, merupakan dokumen yang sangat berharga dalam sejarah Gereja lokal di Flores yang ditinggalkan oleh Sang misionaris besar, Mgr. Henricus Leven SVD.

Daftar Bacaan
1. Mgr. Leven, Misi Flores Selama Perang dan di Bawah Pemerintahan Jepang (buku utama)
2. Tasuku Sato, Mark Tennien, Aku Terkenang Flores, cet. Ke-2. Ende: Nusa Indah, 2005 (bacaan tambahan)
3. P. Frans Cornelisen, 50 tahun Pendidikan di Flores. Percetakan Arnoldus Ende (bacaan tambahan)
4. Alex Jebadu, Misiologi Dasar (ms), STFK Ledalero, 2009 (bacaan tambahan)

Wajah Buram Pendidikan Kita


Pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang paling esensial bagi manusia dan bersifat melekat dalam seluruh proses kehidupan. Dengan pendidikan selubung kelam yang mengintari manusia menjadi terkuak. Manusia pun menjadi melek aksara.
Tetapi rentetan perjalanan waktu, wajah pendidikan kita menjadi semakin buram. Aneka kegelisahan dalam dunia pendidikan pun muncul. Kata-kata bijak Herekleitos bahwa pendidikan adalah matahari kedua bagi pemiliknya (education is the second sun to its possesors) terdengar mencibir saja. Kita hidup dalam dunia pendidikan yang tidak lagi berfungsi sebagai matahari. Sinarnya redup tak menggairakan. Tanpa berpretensi mengulas semua realitas buruk dunia pendidikan, penulis terobsesi untuk menampilkan dua persoalan utama yang sering dihadapi dalam bangku pendidikan.

Relasi Dialogal Guru dan Murid
Guru adalah sosok yang digugu dan dtiru. Demikian orang jawa memberikan definisi tentang guru. Pada lidahnya murid mendengarkan kata-katanya. Jika kata-kata guru adalah nada kematian, maka para murid hanya mendengarkan kata-kata kematian. Begitu pula jika peran guru melakoni ekspresi kematian, para murid juga pasti meneladani perilaku tersebut. Dengan pola pendidikan seperti ini kita melihat tidak terjadi hubungan timbal balik antara guru dan murid. Guru berperan sebagai subjek yang otoriter terhadap muridnya. Apa yang dikatakan guru, entah itu benar atau salah, itulah yang diterima muridnya.
Paulo Freire, dalam bukunya pedagogy of the oppressed (1972) mengeritik model pendidikan seperti ini. Baginya, para murid dan para guru harus sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan yang dihayati. The teacher is no longer merely the one who teahes, but one who is himself taught in dialogue with the student, who in their turn while being taught also teach. Guru dan murid harus sama-sama menjadi subjek-subjek, bukan hanya dalam menyingkapi kenyataan secara kritis tetapi juga menciptakan kembali pengetahuan tersebut.
Di sini dialog menjadi jembatan penghubung yang tangguh karena di dalamnya guru dan murid saling mengajar dan belajar. Dalam dialog itu mereka saling menghargai, saling belajar, saling mengisi dan melengkapi. Dialog secara kritis perlu diadakan sehingga mereka masing-masing dihargai sebagai manusia. Dialog akan sungguh mengembangkan kedua belah pihak, baik guru maupun muridnya. Pola mendikte dan bahkan kekerasan yang dilakukan guru bukanlah cerminan relasi dialogis. Dalam dialog guru dan murid bukan hanya mempartahankan identitas mereka, tetapi juga berkembang bersama-sama. Dengan demikian terjadi hubungan dialogal antara guru dan muridnya.

Demokrasi Pendidikan
Segala bentuk diskusi ataupun perdebatan tentang pendidikan menjadi semakin marak mulai dari komite reformasi politik yang dibentuk pemerintah hingga ke komite-komite lain bentukan lembaga swadaya masyarakat. Semuanya tengah mencari jalan keluar yang bisa mengatasi masalah pendidikan di tanah air. Dari perdebatan dan diskusi itu nampaknya semua berpendapat bahwa salah satu biang keladi kegagalan pendidikan di indonesia adalah sistem pendidikan nasional yang bersifat penyeragaman dan sentralistik. Sistem pendidikan ini merupakan hasil dari UU no. 2 tahun 1989 yang telah dipoltisasi guna melestarikan kekuasaan pemerintah pada waktu itu, dengan dalil demi penyelamatan dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi pendidikan memang harus dimulai dengan demokrasi kurikulum. Sejauh kurikulum masih dibentuk oleh pemerintah sentral (penguasa) atau kelompok tertentu maka demokrasi sekolah sulit berjalan. Kurikulum yang diatur secara sentralistik olek pemerintah akan membuat orang menjadi spektator atau penonton yang pasif, bukannya kreator atau pencipta yang berpartisipasi secara penuh dalam pembelajaran. Karena pola pendidikan yang sentralistik maka pelaku-pelaku pendidikan hanya dibuat tunduk dan taat oleh pihak pemerintah. Inilah keadaan yang oleh Paulo Freire disebut kebudayaan diam (culture of silence).
Untuk itu sistem pendidikan mesti beralih dari pendidikan bergaya sentralistik ke pendidikan demokrasi dimana setiap pelaku pendidikan bebas mengaktualisasikan dirinya. Di NTT prosentase kelulusan untuk tingakat sekolah menengah atas menurun sampai 21,31 % dibandingkan sebelumnya 61,91 %. Penurunan ini menempatkan NTT pada rangking terakhir persentase kelulusan dari 33 propinsi se-indonesia (Flores Pos, 27/04). Menurunnya prosentase kelulusan ini, boleh jadi, merupakan salah satu dampak dari sistim pendidikan sentralistik ini dimana kurikulum dan bahkan soal-soal ujian pun diatur dan disusun dari pusat.
Meskipun demikian, pada dasarnya masalah pendidikan masih berkaitan langsung dengan beberapa komponen dasar pendidikan seperti para pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan yang mengatur seluruh sistem pendidikan (pemerintah), pendidik (guru), dan peserta didik (siswa/i). Karena itu ada beberapa saran praktis bagi ketiga pelaku pendidkan ini. Untuk para pengambil keputusan hendaknya kebijakan yang diambil betul sesuai dengan praksis pendidikan yang ada serta menjawabi berbagai permasalahan pendidikan.
Sistem pendidikan hendaknya tidak menjadi batu sandungan bagi pendidik dan peserta didik dalam menjalankan roda pendidikan karena ketidaksesuaian antara sistem pendidikan tersebut dengan fenomena pendidikan yang ada. Bagi para pendidik (guru) hendaknya menjadi kawan bicara yang baik bagi para muridnya. Guru yang baik adalah guru tidak memonopoli seluruh pembelajaran tetapi juga melibatkan muridnya. Guru mesti bisa bekerja, berpikir, dan mencari jalan keluar bersama muridnya ketika menemukan kesulitan dalam proses pembelajaran.
Akhirnya bagi para peserta didik, hendaknya terlibat aktif dalam pembelajaran di sekolah. Seorang murid yang baik tidak menerima begitu saja materi dari gurunya tetapi juga perlu mengkritisinya.

Diterbitkan sebagai opini dalam Flores
Pos Senin, 10 Maret 2010