Rabu, 23 Juni 2010

Wajah Buram Pendidikan Kita


Pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang paling esensial bagi manusia dan bersifat melekat dalam seluruh proses kehidupan. Dengan pendidikan selubung kelam yang mengintari manusia menjadi terkuak. Manusia pun menjadi melek aksara.
Tetapi rentetan perjalanan waktu, wajah pendidikan kita menjadi semakin buram. Aneka kegelisahan dalam dunia pendidikan pun muncul. Kata-kata bijak Herekleitos bahwa pendidikan adalah matahari kedua bagi pemiliknya (education is the second sun to its possesors) terdengar mencibir saja. Kita hidup dalam dunia pendidikan yang tidak lagi berfungsi sebagai matahari. Sinarnya redup tak menggairakan. Tanpa berpretensi mengulas semua realitas buruk dunia pendidikan, penulis terobsesi untuk menampilkan dua persoalan utama yang sering dihadapi dalam bangku pendidikan.

Relasi Dialogal Guru dan Murid
Guru adalah sosok yang digugu dan dtiru. Demikian orang jawa memberikan definisi tentang guru. Pada lidahnya murid mendengarkan kata-katanya. Jika kata-kata guru adalah nada kematian, maka para murid hanya mendengarkan kata-kata kematian. Begitu pula jika peran guru melakoni ekspresi kematian, para murid juga pasti meneladani perilaku tersebut. Dengan pola pendidikan seperti ini kita melihat tidak terjadi hubungan timbal balik antara guru dan murid. Guru berperan sebagai subjek yang otoriter terhadap muridnya. Apa yang dikatakan guru, entah itu benar atau salah, itulah yang diterima muridnya.
Paulo Freire, dalam bukunya pedagogy of the oppressed (1972) mengeritik model pendidikan seperti ini. Baginya, para murid dan para guru harus sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan yang dihayati. The teacher is no longer merely the one who teahes, but one who is himself taught in dialogue with the student, who in their turn while being taught also teach. Guru dan murid harus sama-sama menjadi subjek-subjek, bukan hanya dalam menyingkapi kenyataan secara kritis tetapi juga menciptakan kembali pengetahuan tersebut.
Di sini dialog menjadi jembatan penghubung yang tangguh karena di dalamnya guru dan murid saling mengajar dan belajar. Dalam dialog itu mereka saling menghargai, saling belajar, saling mengisi dan melengkapi. Dialog secara kritis perlu diadakan sehingga mereka masing-masing dihargai sebagai manusia. Dialog akan sungguh mengembangkan kedua belah pihak, baik guru maupun muridnya. Pola mendikte dan bahkan kekerasan yang dilakukan guru bukanlah cerminan relasi dialogis. Dalam dialog guru dan murid bukan hanya mempartahankan identitas mereka, tetapi juga berkembang bersama-sama. Dengan demikian terjadi hubungan dialogal antara guru dan muridnya.

Demokrasi Pendidikan
Segala bentuk diskusi ataupun perdebatan tentang pendidikan menjadi semakin marak mulai dari komite reformasi politik yang dibentuk pemerintah hingga ke komite-komite lain bentukan lembaga swadaya masyarakat. Semuanya tengah mencari jalan keluar yang bisa mengatasi masalah pendidikan di tanah air. Dari perdebatan dan diskusi itu nampaknya semua berpendapat bahwa salah satu biang keladi kegagalan pendidikan di indonesia adalah sistem pendidikan nasional yang bersifat penyeragaman dan sentralistik. Sistem pendidikan ini merupakan hasil dari UU no. 2 tahun 1989 yang telah dipoltisasi guna melestarikan kekuasaan pemerintah pada waktu itu, dengan dalil demi penyelamatan dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi pendidikan memang harus dimulai dengan demokrasi kurikulum. Sejauh kurikulum masih dibentuk oleh pemerintah sentral (penguasa) atau kelompok tertentu maka demokrasi sekolah sulit berjalan. Kurikulum yang diatur secara sentralistik olek pemerintah akan membuat orang menjadi spektator atau penonton yang pasif, bukannya kreator atau pencipta yang berpartisipasi secara penuh dalam pembelajaran. Karena pola pendidikan yang sentralistik maka pelaku-pelaku pendidikan hanya dibuat tunduk dan taat oleh pihak pemerintah. Inilah keadaan yang oleh Paulo Freire disebut kebudayaan diam (culture of silence).
Untuk itu sistem pendidikan mesti beralih dari pendidikan bergaya sentralistik ke pendidikan demokrasi dimana setiap pelaku pendidikan bebas mengaktualisasikan dirinya. Di NTT prosentase kelulusan untuk tingakat sekolah menengah atas menurun sampai 21,31 % dibandingkan sebelumnya 61,91 %. Penurunan ini menempatkan NTT pada rangking terakhir persentase kelulusan dari 33 propinsi se-indonesia (Flores Pos, 27/04). Menurunnya prosentase kelulusan ini, boleh jadi, merupakan salah satu dampak dari sistim pendidikan sentralistik ini dimana kurikulum dan bahkan soal-soal ujian pun diatur dan disusun dari pusat.
Meskipun demikian, pada dasarnya masalah pendidikan masih berkaitan langsung dengan beberapa komponen dasar pendidikan seperti para pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan yang mengatur seluruh sistem pendidikan (pemerintah), pendidik (guru), dan peserta didik (siswa/i). Karena itu ada beberapa saran praktis bagi ketiga pelaku pendidkan ini. Untuk para pengambil keputusan hendaknya kebijakan yang diambil betul sesuai dengan praksis pendidikan yang ada serta menjawabi berbagai permasalahan pendidikan.
Sistem pendidikan hendaknya tidak menjadi batu sandungan bagi pendidik dan peserta didik dalam menjalankan roda pendidikan karena ketidaksesuaian antara sistem pendidikan tersebut dengan fenomena pendidikan yang ada. Bagi para pendidik (guru) hendaknya menjadi kawan bicara yang baik bagi para muridnya. Guru yang baik adalah guru tidak memonopoli seluruh pembelajaran tetapi juga melibatkan muridnya. Guru mesti bisa bekerja, berpikir, dan mencari jalan keluar bersama muridnya ketika menemukan kesulitan dalam proses pembelajaran.
Akhirnya bagi para peserta didik, hendaknya terlibat aktif dalam pembelajaran di sekolah. Seorang murid yang baik tidak menerima begitu saja materi dari gurunya tetapi juga perlu mengkritisinya.

Diterbitkan sebagai opini dalam Flores
Pos Senin, 10 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar