Rabu, 23 Juni 2010

MISI FLORES DAN KOLONIALISME PEMERINTAHAN JEPANG (Ziarah Perjalanan Pastoral Mgr. Henricus Leven SVD Selama Pemerintahan Jepang 1942-1945)



I. Prolog
Sejarah misi Solor hanya menjadi cerita indah yang diwariskan turun-temurun ketika Pater Piet Noyen menginjakkan kaki untuk pertama kali di pulau Flores pada tahun 1914. Misionaris perdana dari Serikat Sabda Allah itu, harus berpikir keras karena mendapati ribuan umat Katolik di kepulauan Flores yang sudah dibaptis tetapi pola hidupnya masih kafir. Dari Lahurus Timor, ia pun berpindah ke Flores dan mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pusat misi. Pilihan pertama mestinya jatuh di Larantuka, tetapi karena alasan blokade wilayah Flores karena letak kota Larantuka yang jauh di ujung timur pulau Flores, maka dipilih Ende sebagai pusat misi kepulauan Solor baru. Sejak itu saat itu istilah misi Solor mulai diganti dengan misi kepulauan Flores atau juga misi kepulauan sunda kecil.
Permulaan ini tentunya menjadi awal yang gemilang dari pertumbuhan dan perkembangan Gereja di Nusa Tenggara. Pihak pemerinmtah, dalam hal ini pemerintahan Hindia Belanda mempunyai respon yang amat positif dengan kehadiran Gereja. Tidak ada hambatan atau tantangan yang diperoleh. Gereja dan rumah misi pun didirkan. Begitu pula dengan sekolah-sekolah Katolik pertama seperti di Ndao, Lela, Larantuka, dengan sistem kurikulum yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu para misionaris Serikat Sabda Allah pun dengan berani mendirikan sebuah seminari kecil di Sikka pada tahun 1926.
Seiring dengan perkembangn waktu, pada tahun 1941 kedua imam pribumi pertama pun ditahbiskan di Gereja Nita oleh Mgr. Leven. Mereka itu adalah P. Gabriel Manek, SVD dan P. Karel Kale Bale, SVD. Dalam sejarah Gereja lokal perisitiwa tahbisan ini merupakan sebuah revolusi besar. Gereja tidak lagi diidentikan dengan orang kulit putih tetapi kini juga menjadi bagian dari umat pribumi. Tidak ada lagi dikotomi orang Belanda dan orang Indonesia. Semuanya bersatu dalam iman yang sama kepada Yesus Kristus.
Meskipun demikian pada tahun yang sama (1941) menjadi awal sejarah sulit Gereja Katolik di Flores. Gereja mengalami masa-masa terberatnya dalam sejarah Gereja lokal karena pada tanggal 7 Desember perang meletus di kawasan pasifik ketika Jepang menyerang pangkalan laut Amerika serikat di Pearl Harbour, Hawai. Perang ini ternyata merambat sampai ke Flores, Hindia Belanda. Setelah Belanda menyatakan diri bergabung dengan pihak sekutu Amerika untuk melawan Jepang, maka mulai terasa bahwa perang mesti menuju ke Indonesia, bahkan sampai ke Flores.
Buku ini merupakan kumpulan catatan perjalanan Mgr. Leven, SVD serta situasi misi Flores selama masa pemerintahan Jepang. Perang meletus sampai ke Flores terutama bukan karena kehadiran Gereja yang dinilai menghambat gerak langkah Kolonialisme Jepang tetapi ini merupakan bagian dari antipati terhadap karya misi yang dilakukan pemerintahan Jepang. Gereja Katolik identik dengan Belanda dan Jerman yang merupakan musuh mereka. Karena itu berbagai cara mereka lakukan untuk mendeportasikan para misionaris. Tentu saja hal ini menyulitkan karya misi di Flores yang baru saja merekah. Mgr. Leven harus berpikir dan bekerja keras untuk mengatasi semua masalah dalam situasi seperti ini.
Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan sosok seorang Mgr. Leven SVD (karena buku ini merupakan catatan perjalanannya) dan situasi misi Flores selama pemerintahan Jepang. Dua hal inilah yang patut dikemukanan dalam tulisan ini berdasakan pemahaman saya terhadap buku karya Mgr. Leven ini. Buku ini merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Gereja lokal di Flores.

II. Sekilas Tentang Mgr. Henricus Leven SVD
2.1 Riwayat Hidup
Mgr. Henricus Leven SVD lahir di Lank, dioses Aken, Jerman, pada 13 Juni 1883. Pada tanggal 3 Oktober 1899 ia masuk di Steyl, Belanda untuk dididik menjadi imam imam misionaris Serikat Sabda Allah. Pada tangggal 29 September dia ditahbiskan menjadi imam di rumah misi St. Gabriel, Wina, Austria. Setelah ditahbiskan ia berangkat ke daerah misi di Togo, Afrika. Karena perang dunia I dia menjadi tawanan Inggris dan dideportasikan ke Eropa. Dalam bulan Oktober 1920 dia bertolak ke Indonesia, dan bekerja mula-mula di timor sebagai pastor paroki, tetapi menangani secara khusus bidang persekolahan. Pada tahun 1927 dia dipindahkan ke Ndona, Flores, dan diangkat sebagai provikaris. Sesudah meninggalnya Mgr. Arnoldus Vestraelen, SVD, dia diangkat oleh Bapa Suci menjadi vikaris apostolik yang baru. Tahbisannya menjadi uskup dilangsungkan di uden, Belanda.
Selama kepemimpinannya, wilayah Gerejani kepulauan sunda kecil yang mula-mula meliputi wilayah seluruh Nusa tenggara sebagai satu vikariat apostolik telah mengalami perkembangan dan pemekarannnya selama masa pimpinan Mgr. Leven sampai ia sendiri meletakan jabatan dan tutup usia. Perkembangna dan pemekaran itu antara lain; pembentukan vikariat apostolik Timor pada 25 Mei 1936, pembentukan prefekur Apostolik Denpasar pada 10 Juli 1950, pembentukan tiga vikariat apostolic yakni Ende, Larantuka, dan Ruteng pada 8 Mei 1951.
Menjabat sebagai kepala Gereja di Flores, bagi Mgr. Leven adalah satu anugerah Tuhan yang sangat istimewah, bahwa kehidupan Gereja dapat dilanjutkan kendati dengan pelayanan hanya oleh sejumlah kecil imam dan bersama dengan kaum awam yang aktif sampai dengan berakhirnya perang di Asia. Hanya beberapa bulan menjelang pecahnya perang pasifik Mgr. Leven sangat beruntung karena boleh menahbiskan dua imam pribumi pertama, P. Gabriel Manek SVD dan P. Karel Kale Bale SVD di Nita 28 Januari 1941.
Sebagai mahkota atas seluruh karyanya yang ditandai oleh salib harapan yang tunggal serta atas pengorbanannya melewati masa yang penuh ketegangan dan penderitaan, Mgr. Leven boleh mengalami hati terbesar Gereja yang dipimpinnya di Flores, ketika dia menahbiskan tiga uskup sebagai tanda pemekaran vikariat Ende manjadi tiga vikariat pada 1951. Satu dari tiga uskup itu adalah uskup pribumi pertama dari Flores, yakni Mgr. Gabriel Manek SVD, yang menjadi vikatis apostolik untuk vikariat Larantuka. Itulah sinar fajar yang semakin cerah, yang menandakan segera tiba saatnya hirarki Gereja di Nusa Tenggara yang baru dibentuk pada tahun 1961. Setelah itu dengan hati tenang dan bahagia dia mengundurkan diri dan meletakan jabatannya. Ketika kesehatannya menjadi semakin rapuh, Mgr. Leven kembali ke Eropa dan berdiam dalam rumah misi di Steyl sampai ajalnya.

2.2 Menyelisik Kepribadian Mgr. Leven SVD
Tidak semua pemimpin mampu mengendalikan wilayah kepemimpinanannya dengan situasi politik yang amat sulit dan menantang. Tetapi tidak bagi uskup Mgr. Henricus Leven. Dia adalah gambaran peminpin Gereja lokal yang tangguh dan sejati. Masa-masa kepeminpinannya adalah suatu rentang waktu tersulit dalam sejarah Gereja lokal. Dia adalah seorang uskup besar yang pernah ada di wilayah kita. Beberapa hal yang bisa kita lihat dari keutamaan Mgr. Henricus Leven SVD.
a. Seorang yang tekun dan sederhana
Mgr Leven adalah seorang pekerja keras dengan sosok yang amat sederhana. Ketika dipilih menjadi pemimpin Gereja Katolik di Flores, dia menyerahkan diri secara total untuk kepentingan misi Flores. Dalam kata pengantar dalam buku ini, P. Alex Beding menulis sosok yang satu ini sebagai otang yang tekun dan sangat sederhana. “ Ketika hampir semua misionaris dideportasikan keluar Flores, Uskup H. Leven mendadak seperti ditinggalkan seorang diri. Tapi dia terus setia berkunjung sampai ke stasi-stasi jauh yang terpencil, dan dia melihat bagaimana umat dengan setia datang ke perayaan-perayaan keagamaan dan menreima saktamen-sakramen. Dia mengunjungi mereka bukan dalam kualitas sebagai uskup, melainkan sebagai pengganti Pastor yang harus meninggalkan mereka, dan memberikan pelayaan rutin kepada umat di desa-desa, dan dusun-dusun yang terpencar dari ujung timur sampai ujung barat Flores. Dia menjadi seorang pastor gunung dan dekat sekali dengan orang-orang sederhana” (hal. 7).

b. Seorang Uskup yang agung dan berwibawa
Serelah menjadi Uskup, ia banyak terlibat dalam tugas-tugas yang berat dan menumpuk. Dari penampilan saja sudah memberi kesan bahwa tidak mudah orang bertemu dengannya dan mendekatinya. Sebagai seorang pemimpin Gerejani dengan martabat keusukupan dia nampak agung dan berwibawa. Tasuku sato dalam dalam bukunya Aku Terkenang Flores menuliskan kesan-kesannya waktu bertemu dengan uskup Leven petama kali: “ ketika saya bertemu orangnya saya menjadi sangat kikuk. Saya tidak tahu entahkah harus mempersoalkan penahanannya atau pura-pura tidak tahu menahu. Kunjungannya itu, meskipun resmi tapi ramah tamah. Ia datang dengan mengenakan pakaian Uskup sebagai tanda hormat kepada komandan baru. Mau tidak mau orang akan tergerak hatinya oleh sikap Uskup yang luhur itu. Ia bersikap penuh ramah tamah dan penuh kebesaran, sehingga saya tidak merasa bahwa saya sedang berbicara dengan seorang musuh” (Aku Terkenang Flores, cet. ke-2, 2005). Boleh dikatakan bahwa itu merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi sikap dan respek tentara Jepang pada umumnya terhadap Gereja Katolik di Flores yang dipimpin oleh Mgr. Leven.

c. Berpihak pada Gereja Lokal
Tahun 1941 adalah saat berahmat ketika ia menahbiskan dua imam pribumi pertama. Namun, oleh kebanyakan orang peristiwa ini masih dilihat sebagai suatu terobosan yang amat berani yang dilakukan oleh Uskup Leven ketika dia berani dan mengangap layak tahbisan kedua imam pribumi pertama itu. Apakah sudah saatnya sekarang seorang pribumi dipercayakan memimpin dan mengambil bagian dalam pelayaan sakramental. Tetapi ia dengan penuh iman menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada dua iama pribumi perdana tersebut. Sudah saatnya sekarang orang-oran gpribumi menumbuh-kembangkan Gerejanya sendiri. Sebelumnya itu, pada tahun 1937 ia mendirikan serikat suter pribumi, yaitu serikat suster-suster pengikut Yesus (CIJ). Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa orientasi kepemimpinanya diarahkan pada perekembangan Gereja lokal terutama dalam hubungan dengan para agen pastoral.

III. Misi Flores Selama Masa Pemerintahan Jepang
Buku ini merupakan catatan perjalanan dari seorang uskup Mgr. Leven SVD. Di dalamnya berisikan pengalaman-pengalaman yang berkisah tentang situasi misi Gereja Katolik selama masa pemerintahan Jepang. Dalam bagian ini akan diuraikan keadaaan misi Flores selama masa pemerintahan Jepang baik itu situasi sulit yang dialami Gereja maupun hal-hal yang menggembirakan.

3.1 Situasi yang Menyedihkan
3.1.1 Bom- bom yang Berjatuhan
Kota Ende seperti lautan api. Pada hari Minggu tanggal 15 Februari1942 sekitar pukul 10.00 ketika peraayan ekaristi sudah selesai dan umat sudah kembali ke kampung halaman mereka, terdengar bunyi pesawat yang menderu dari arah jauh. Semua orang ketakutan ketika menatap delapan buah pesawat yang melepaskan bom-bom secara membabi buta. Semu orang mencari perlindungan. Terhadap situasi ini Mgr. Leven menulis :
“saya masih melihat satu asap kekuningan di bawah pesawat-pesawat itu, dan setelah saya masuk ke dalam tempat persembunyian, kami mendengar ledakan-ledakan yang pertama…..ketika tidak terdengar lagi bunyi pesawat-pesawat itu kami kaluar dan dari pendopo nampak kepulan asap hitam di atas kota Ende”(hal. 13).
Tujuan utama dari pemboman ini adalah menghancurkan stasiun Radio di kota Ende. Meskipun semuanya ada 42 bom yang dijatuhkan tetapi stasiun radio hanya mengalami sedikit kerusakan karena pada malam harinya radio bisa berkumandang lagi di udara. Dalam pemboman pertama ini tidak banyak rumah-rumah misi yang hancur, tetapi tentu saja ini mendatangkan ketakutan yang amat mendalam di kalangan masyarakat. Ratusan siswa yang tergabung dalam sekolah misi pun menjadi ketakutan.
Pemerintah Jepang pertama kali tiba di Reo-Mangarai, dan perlahan-lahan bergerak menuju ke arah timur pulau Flores. Pada tanggal 15 Mei 1942, para tentara Jepang sudah berkeliaran di kota Ende. Tidak lama kemudian kira-kira pukull 14.00 siang telpon bordering dan Bapa Uskup mendapat panggilan bersama semua Pastor, Bruder, dan Suster untuk segera ke Ende menghadap komandan. Dari pembicaraan yang dilakukan, para Pastor dan Suster dilarang untuk keluar dari kota Ende. Hampir kebanyakan para misonaris adalah kebangsaan Belanda dan Jerman. Tetapi Bapa Uskup berusaha menjelaskan bahwa kedatangan mereka bukan merupakan utusan dari pihak kolonial tetapi diutus oleh kepala Gereja katolik di Roma. Ketika mendengar nama Italia, mereka semakin lunak karena Italia bersekutu dengan mereka. Semua para misionaris kemudian dibiarkan untuk pulang ke Ndona, dengan dua catatan yakni tidak boleh keluar dari Ndona dan kehadiran mereka hanya untukmengajarkan agama Katolik.
Misi Flores pun mulai memasuki babak baru dalam saat-saat yang paling berat. Meskipun tidak ada korban nyawa tetapi kehadiran pemerintahan Jepang tentu berdampak buruk bagi perekembangan Gereja Katolik di Flores ke depannya. Ketakutan terbesar adalah ketika para misonaris dibatasi gerak langkahnya atau bahkan dideportasi. Tidak akan ada lagi pengajaran di sekolah-sekolah. Kecemasan juga muncul ketika memikitkan bagaimana nasib pendidikan calon imam pribumi.
Bom kembali berjatuhan ketika perang mulai berakhir pada bulan Desember 1945. Kali ini bahkan lebih dasyat dari sebelumnya karena banyak korban yang tewas dan luka-luka serta berbagai rumah dan gedung-gedung hancur berantakan, termasuk di dalamnya Gereja Katedral dan beberapa gedung misi. Mgr. Leven kembali melukiskan peristiwa pemboman ini,
“Selanjutnya telah terjadi serangan-serangan yang lebih kurang gencarnya pada tanggal 8,14,18,19 dan 21 Desember. Paling hebat terjadi pada tanggal 18 Desember oleh 21 pesawat terbang. Pada hari itu sebuah gudang kopra terkena bom. Tapi selain dari itu kerugian militer kecil saja, kalau tidak dikatakan nihil, sedangkan kerugian besar diderita oleh orang-perorangan, dan paling berat di kompleks Cina dan Misi. Menurut berita dari kantor Raja, 32 orang tewas dan 100 orang menderita luka-luka, banyak di antaranya kemudian meninggal dunia, selanjtnya 200 telah hancur, sehingga plus-minus 1000 orang kehilangan tempat tinggalnya” (hal. 146-147).
Peristiwa ini tentu menambah beban karya misi baik dalam pelayanan karitatif maupun dalam usaha membangun kembali sarana dan prasarana yang telah hancur.

3.1.2 Para Misionaris Diinternering
Hal yang paling ditakuti Gereja yakni gerak langkah para misonaris dibatasi akhirnya terjadi juga. Semua para misonaris dari seluruh wilayah akhirnya ditampung di Ndona-Ende. Kesepakatan awal bahwa hanya orang Belanda yang diinternering ternyata tidak berlaku lagi. Semua para misonaris asing termasuk misonaris Jerman dan Belanda akhirnya diinternering di Ndona. Keadaan seperti ini mendatang kesulitan dalam misi Gereja Katolik terutama dalam pelayanan sakramen. Tidak ada satu misionaris pun yang berkarya di wilayah Flores. Bapa Uskup mulai mengatur jadwal kunjungan keliling Flores, dari Ende sampai Mangarai, dan memberikan pelayaan sakramane kepada umat. Ternyata umat masih antusias dan rajin datang ke Gereja menerima sakramen. Bapa Uskup Leven menulis pengalamannya ini.
“saya mulai dengan perjalannan misi yang paling menyedihkan dan paling emosional sepanjang tahun-tahun pengalaman misoner saya. Dalam seluruh wilayah dari Ende sampai ujung paling barat wilayah Mangagarai tidak ada seorang misonaris, tidak ada satu tempat dimana dilangsungkan kurban misa suci untuk 130.000 umat Kristen, tidak ada sebuah tabernakael tempat para beriman boleh memperoleh penghiburan dan kekuatan dalam kesusahan-kesuahan mereka. Dan sekarang, saya sebagai satu-satunya imam yang bebas akan pergi mengunjungi mereka, untuk menghibur, meneguhkan, dan memberikan semangat serta kepercayaan” (hal. 38).

Sementara itu para Imam, Bruder, dan Suster yang diinternering di Ndona tidak bisa berbuat apa-apa. Gerak langkah mereka dibatasi. Dalam keadaan seperti itu mereka berusaha mengisi waktu internering dengan hal-hal yang berguna seperti berdoa dan bekerja. Dalam berdoa Suara mereka menggema dengan syadu dalam seruan dan nyanyian: “Miserere nobis, selamatkanlah kami ya Tuhan”. Disamping itu dibentuk klub-klub studi dan diberikan pelajaran bahasa Inggris dan melayu, dan soal-soal katakese dan pendalaman iman umat. Para Suster sibuk dengan urusan pekerjaan di dapur, kamar cuci dan kamat seterika. Dengan terkumpulnya suatu komunitas yang demikian besar, banyak sekali yang diperlukan untuk melayani kepentingan jasmani.

3.1.3 Deportasi Para Misionaris
Saat-saat yang paling menyedihkan adalah saat perpisahan dengan para misioanris yang harus meninggalkan pulau Flores dan dideportasi, pulang ke Negara mereka masing-masing. Momen itu dilukiskan sebagai saat yang paling mengharukan. Sebelum makan siang semua Pater, Bruder, dan Suster berkumpul dalam Gereja untuk menyanyikan Ave Maris Stela. Pater Regional menyampaikan suatu sambutan yang sangat mengharukan. Ia menasihati mereka supaya tetap menaruh harapan pada penyelnggeraan ilahi, yang pasti tidak menyia-nyiakan semua doa-doa yang telah dipanjatkan selama ini dan di tempat ini. Setelah itu mereka semua berdoa: “Non Nobis Domine, non Nobis sed Domini tuo da glotiam (bukan kepada kami ya tuhan buikan kepada kami tetapi kepadamulah diberikan pujian”. Bapa Uskup Leven, tidak bisa berbicara pada waktu itu karena merasa terlalu berat untuk diungkapakan,. Ia hanya bisa memberkati mereka dan memberikan tanda mata berupa Rosario bagi masing-masing mereka yang datang pamit kepadanya. Setelah kepergian para misionaris, Ndona yang selama ini ramai karena penampungan kini sepi seolah tak berpenghuni. Dalam cararan harianya, Mgr. Leven menulis,
“Ndona yang selama dua bulan penuh dnegan tamu-tamu dan sibuk, kini menjadi lengang dan bagaikan mati. Selamat jalan, gembala-gembala dan pekerja-pekerja setia dalam kebun anggur Tuhan. Terima kasih dan pujian untuk jerih payah dan karyamu. Semoga bintang Laut menuntun dan melindungi kalian, sampai berjumpa lagi. Sampai bertemu dalam waktu dekat!” (hal 46).

Setelah ditinggal pergi oleh para misionaris, situasi menjadi sangat lain. Misi Flores seperti mulai lagi dari awal. Bersyukur ada lima orang misionaris yang tinggal, yakni Pater Frans Cornelissen untuk kepentingan pendidikan Seminari Mataloko, Pater Koesmeester utnuk Novisiat di Ledalero. Sedangkan Bruder Galus boleh tinggal karena lanjut usia dan Bruder Vitalis bisa tinggal Karena mendapat serangan ginjal dan menurut keterangan dokter tidak boleh dibawa ke mana-mana. Dengan komposisi seperti ini mereka seolah-olah memulai karya misi dari awal lagi. Bersyukur bahwa ada imam pribumi yang ditahbiskan sehingga bisa membantu karya pelayanan sakramen. Pada tanggal 15 Agustus 1942 ada dua imam baru yang tahbisakan yakni P. Yan Bala Letor, dan P. Rufinus Pedrico. Dengan demikian jumlah imam pribumi menjadi empat orang.


3.2 Situasi yang Menggembirakan
3.2.1 Pendidikan Calon Imam yang Terus Berlanjut
Setelah Pater Frans Cornelisen diinternering ke Ndona beserta para misionaris lainnya, kini Seminari Todabelu hanya tinggal para siswa sendirian. Dengan alasan itu ketujuh siswa dari kelas tertinggi yang sedang belajar teologi di Ledalero diminta untuk menangani formasi sementara pada saat kekososngan seperi ini. Salah satu dari ketujuhnya adalah Fr. Donatus Djagom, yang dipercayakan untuk mengambil alih kepemimpian sementara seminari Todabelu ini. Mereka mengambil alih semua tugas mengajar dan pembinaan di seminari untuk sementara waktu, sambil berharap para misionaris bisa dibebaskan dari masa internering.
Doa-doa mereka akhirnya terwujud, P. Frans Cornelisen, setelah melalui negosiasi yang panjang akhirnya tidak dideportasi dengan alasan untuk kebutuhan pendidikan seminari Todabelu. Sementara itu P. Kosmeester juga ridak dideportasi untuk menangani Noviat di Ledalero.Meskiun tidak semua harapan mereka terwujud karena harus kehilangan banyak misionaris tetapi adanya kedua misionaris ini menjadi semacam blessing ini disque. Para siswa sangat bahagia ketika menyambut kedatangan kembali P. Frans Cornelisen di Mataloko.

3.2.2 Tahbisan Imam
Selama masa pemerintahan Jepang beberapa imam pribumi ditahbiskan. Ini dilihat sebagai suatu kemajuan yang menggembirakan. Sudah saatnya orang pribumi mengambil bagian dalam pelayanan sakramental. Pada tanggal 15 Agustus 1942 dilangsungkan tahbisan dua imam baru yakni P. Yan Bala Letor dan P. Rufinus Pedrico. Tahbisan lain adalan upacara tahbisan Rm. Lukas Lusi, Pr, Imam sekulir pertama dalam sejaah Gereja Lokal di Flores. Acara pentahbisan itu berlangsung di Todabelu Mataloko pada tanggal 18 Juni 1944. Kali ini dari pemerintahan Nippon dari Bajawa hadir Bun Ken yang baru bersama asistennya. Mereka mengikuti upacara tahbisan sampai selesai dan kembali setelah perjamuan siang hari itu.
Selain itu setahun kemudian diadakan tahbisan dengnan jumlah yang lebih banyak dari sebelum yakni tujuh orang, yakni P. Markus Malar, P. Zacharias Ze, P. Lambertus Lame Uran, P. Aloysius Ding, P. Josef Diaz Viera, P. Bruno Brass, dan P. Piet Muda. Dalam upacara tahbisan ini dibacakan dengan penempatan tugas masing-masing. “ Parate viam Domini, poenitetiam agite. Ite Ego mitte vos sicut agnusinter lupos!” Siapkanlah jalan Tuhan. Bertobatlah, pergilah akumengutus kamu bagaikan domba-doma di tengah srigala-srigala (hal. 167). Peristiwa tahbisan menjadi hal yang amat menggembirakan dan dinilai sebagai suatu mahkota emas (hal 148). Tenaga-tenaga imam pribumi sangat dibutuhkan untuk perkembangan Gereja di Flores selanjutnya. Kita juga patut berbangga bahwa dalam situasi semacam ini seorang imam diosesan akhirnya ditahbiskan. Ini awal yang mengembirakan dalam sejarah Gereja lokal di Flores. Dengan dideportasikan para misonaris, kehadiran mereka sebagai agen pastoral dinilai sebagai berkat sekaligus doa yang terwujud dari para misionaris sebelumnya.

3.2.3 Para Tamu Agung dari Jepang
Pada tanggal 30 Agustus 1943 telah tiba di Flores beberapa tamu agung dari Jepang antara lain Mgr. Paulus Yamaguchi, Uskup Nagasaki, Mgr. Aloysius Ogihara SJ, Administrator apostolic Hirosima, Rm Mikhael Iwanaga imam sekulir dari dioses Nagasaki, dan Rm. Filipu Kuyono, imam sekulir dari prefektu Yokohama. Mgr. Yamguci berbicara dalam bahasa perancis dan Mgr. Ogihara berbicara dalam bahasa Jerman, sedangkan kedua imam lain bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan Latin.
Kehadiran mereka di Flores seperti malaikat penolong di tengah situasi yang carut marut. Setidaknya untuk sementara waktu bisa memperkuat barisan para klerus untuk kepentingan pelayan Sakramental. Pada awalanya pemerintahan Jepang berencana untuk mendeportasikan semua para misionaris di Flores termasuk Bapa Uskup dan posisi mereka diganti dengan Para misionaris ini. Tetapi ketika tiba di Flores situasi berkata lain. Keyakinan dan pengharapan yang sama akan karya keselamatan Allah membuat keempat tamu dan para misionaris barat yang sudah berada di Flores saling bekerja sama demi tujuan yang sama yakni memaklumkan kerajaan Allah.
Pembicaraan-pembicaraan mengenai keadaan misi ataupun negosiasi-negosiasi dengan pemerintahan Jepang kini diwakili oleh Mgr. Yamaguchi. Bersyukur bahwa Mgr. Yamaguchi bisa meyakinkan para komandan Jepang, yang berikhtiar memulangkan semua para misonaris barat. Sementara itu Mgr. Ogihara meminta kepada para misionaris supaya tetap tekun berdoa karena masih ada banyak bahaya dan tantangan yang akan datang. Salah satunya adalah perwira komandan militer. Sikap orang itu sangat tegas. Tetapi syukur bahwa pada hari berikutnya ia dipindahklan ke tempat lain.
Bersama keempat tamu dari Jepang, mulai diatur tugas patroli untuk mengunjungi umat dan memberikan sakramen-sakramen kepada umat. Kunjungan-kunjungan itu diatur terlebih dahulu ke arah timur, dari wilayah Lio, Maumere, sampai ke wilayah Larantuka. Mgr. Yamaguchi sempat menerimakan sakramen Krisma bagi anak-anak di Larantuka. Umat sangat antusias menerima ketiga uskup dan kedua imam tersebut. Setelah itu mereka kembali lagi Ke Ende dan meneruskan perjalanan ke arah barat Flores. Di Bajawa mereka nginap di Mataloko Mgr Yamaguci sempat memberikan tahbisan subdiakon kepada Fr. Adrianus Conterius.
Mgr. Yamguchi kembali ke Ende karena ada urusan dengan pemerintahan Jepang. Di Ende serdadu Jepang merazia semua rumah-rumah misi karena menurut mereka para misonaris masih menyimpan radio-radio. Sementara itu, Mgr. Leven dan Mgr. Ogihara masih melanjutkan kunjungan ke Manggarai. Umat sangat antusias menerima kehadiran mereka. Kedatangan mereka disambut dengan meriah. Umat begitu merindukan kehadiran seorang pemimpin Gereja di tengah situasi yang penuh ketegangan seperti ini.



3.2.4. Perang Berakhir dan Para Misionaris Jepang Mohon Diri dan Kembali
Serangan balasan Amerika dan sekutunya terhadap Jepang, ternyata menimbulkan dampak yang sangat positif bagi Indonesia. Kota Nagasaki dan Hirosima dibumihanguskan dalam waktu sekejab. Kedua kota ini adalah daerah asal keempat misionaris yang datang Ke Flores. Bersyukur mereka bisa diselamatkan karena menjadi misionaris di Flores tetapi kesedihan itu tetap ada dalam diri mereka, memikirkan nasib sanak keluarga dan bangsa yang kini ditimpa kemalangan dan menjadi korban pemboman.
Dengan serangan tersebut, maka perang pun berakhir. Jepang mengaku kalah terhadap sekutunya karena kedua kota yang dibumihanguskan adalah kota penting dan merupakan pangkalan militer Jepang. Situasi ini mempengaruhi semua penjajahan Jepang di wilayah Indonesia. Semua pasukan Jepang diperintahkan untuk menyerah dan meletakan senjata kekuasaan mereka. Semua pasukan Jepang diminta dalam waktu dekat untuk kembali ke Negara mereka.
Dalam skala besar, kekalahan Jepang ini memberikan dampak positif bagi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu dalam konteks Gereja lokal di Flores, berita kekalahan Jepang ini merupakan berita gembira karena pada saat itu semua misionaris dinternering untuk kedua kalinya di Mataloko dan Jopu. Ini adalah suatu berita gembira karena para misionaris bisa kembali kepada situasi semula, bisa kembali ke tempat tugas mereka. Berita tentang kekalahan Jepang itu disampaikan sendiri oleh Mgr. Yamaguchi di Maraloko. Semua mereka diminta untuk tidak bersorak-sorak dulu karena bisa memancing emosi pasukan Jepang.
Di sela-sela kegembiraan, semua para misisonaris harus dengan berat hati melepas pergikan keempat tamu agung dari Jepang. Perang telah berakhir dan mereka harus kembali ke negara dan keuskupan mereka. Sesuatu yang sangat menyedihkan bagi Mgr. Yamaguchi, dimana ia telah merasa menyatu dengan keramah-tamahan para misionaris dan umat di Flores. Tentang situasi perpisahan ini Mgr Leven Menulis;
“Kami melepaspergikan mereka dengan melagukan secara mulia “Ave Maris Stela” di dalam Gereja. Lalu saya sendiri boleh menghantar beliau sampai ke Ende, dimana kami berpamit, dengan harapan akan berjumpa lagi di Roma” (hal. 166).

Setelah para misionaris Jepang meninggalkan Flores, di Mataloko juga sudah mulai dengan persiapan tahbisan untuk ketujuh calon Imam. Ini tentu menjadi berita yang menggermbirakan karya misi. Babak pencerahan kini mulai terkuak. Masa-masa terberat selama pemerintahan Jepang kini sudah berakhir. Selain itu ada beberapa imam muda yang baru ditahbiskan menambah kekuatan barisan para klerus untuk melayani sakramen kepada umat yang tersebar dari ujung barat sampai ke ujung timur pulau Flores. Para imam pribumi kini menjadi partner kerja dengan para misionaris dari Eropa. Sesungguhnya Gereja Lokal kini sedang bertumbuh. Pendidikan para calon imam pun kini dijalankan dengan baik, tanpa ada hambatan lagi. Ini merupakan situasi yang menggembirakan Gereja Lokal.
IV. Catatan Akhir
Dalam sejarah Gereja lokal, misi Flores mengalami situasi terberatnya saat pemerintahan kolonmialisme Jepang berkuasa. Akar persoalan adalah bukan karena Pemerintahan Jepang ridak menaruh respek sekalipun pada agama Katolik tetapi terletak pada persepsiyang mengidentikan misi katolik dengan kolonialisme barat. Ini merupakan bagian dari krisis misi menjelang konsili vatikan II. Pemerintahan kolonialisme Jepang menaruh curiga bahwa para misionaris yang umumnya berasal dari Belanda da Jerman merupakan mata-mata sekutu. Pihak pemerintah Jepang mempunyai respek yang amat tinggi untuk perkembangna Gereja, dan ini terbukti ketika mereka mengirim kedua Uskup dan Imam untuk bekerja di Flores. Namun, dalam pandangan mereka katya misi yang dengan melibatkan para misonaris barat identik dengan kolonialisme. Inilah salah satu krisis yang terungkap dalam buku catatan perjalanan dari Mgr. Leven ini. Pandangan seperti itu (anti kolonialisme) mendapat respon yang tinggi dalam berbagai dokumen misi Gereja. Buku ini, selain mengungkapkan krisis besar ini tetapi terutama situasi sulit selama masa kolonial Jepang. Karena itu, merupakan dokumen yang sangat berharga dalam sejarah Gereja lokal di Flores yang ditinggalkan oleh Sang misionaris besar, Mgr. Henricus Leven SVD.

Daftar Bacaan
1. Mgr. Leven, Misi Flores Selama Perang dan di Bawah Pemerintahan Jepang (buku utama)
2. Tasuku Sato, Mark Tennien, Aku Terkenang Flores, cet. Ke-2. Ende: Nusa Indah, 2005 (bacaan tambahan)
3. P. Frans Cornelisen, 50 tahun Pendidikan di Flores. Percetakan Arnoldus Ende (bacaan tambahan)
4. Alex Jebadu, Misiologi Dasar (ms), STFK Ledalero, 2009 (bacaan tambahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar