Senin, 30 Agustus 2010

Seksualitas Dalam Tiga masalah Aktual (Sebuah tinjauan Menurut Gereja Katolik)

I. Pendahuluan
Pandangan Gereja Katolik tentang moralitas seksual dewasa ini memang seperti berada berdampingan dengan pelbagai pendangan lain tentang sekualitas yang tengah berkembang dan hidup dalam masyarakat dan dunia kita. Ada yang mengatakan bahwa seks merupakan urusan pribadi dan karena itu tidak bisa diatur oleh apapun selain oleh pribadi bersangkutan. Yang lain beranggapan bahwa seks merupakan bagian integral dari diri yang bebas dan karena itu tidak ada satu larangan pun yang bisa membatasi tindakan seksual.
Dari persepektif semacam ini kita melihat bahwa ternyata ada sekian banyak pandangan yang salah dan keliru atas seksualitas yang manusiawi. Gereja mengajarkan bahwa karakter relasional dari aktifitas seksual merupakan aspek yang sangat penting, dan dari situ muncul suatu kriteria moral dalam mengevaluasi tindakan seksual. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa pandangan Gereja tentang moralitas seksual boleh dicirikan oleh konsep “relasi yang bertanggung jawab.” Sebab bagaimanapun setiap bentuk relasi manusia harusnya bertanggung jawab dan bukan eksploitatif.
Karena itu pada kesempatan ini kita akan menyelami dinamika perkembangan Gereja Katolik, tentang makna seksualitas manusia yang berdimensi unitif, prokreatif, dan relasional tentu dalam kaitannya dengan cinta dan perkawinan. Di samping itu, kita akan juga membahas masalah-masalah aktual seperti kontrasepsi, hubungan seks pranikah, dan perselingkuhan, ketegangan antara ajaran moral Gereja yang keras di satu sisi, dan realitas konkret yang dihadapi umat di lain pihak.
II. Beberapa Masalah Aktual
1. Kontrasepsi
1.1 Penjelasan tetnag istilah
Kata kontrasepsi menjadi istilah yang sering kali salah dimengerti oleh banyak orang. Misalnya orang memahami kontrasepsi sebagai perlindungan dari penyakit menular tertentu (penyakit kelamin atau HIV AIDS). Padahal kata kontrasepsi berasal dari dua kata: contra + conception). Contra berarti melawan dan conception berarti pembuahan. Jadi, kontrasepsi sebetulnya merakan perlawanan terhadap pembuahan. Dengan kata lain, kontrasepsi berarti alat atau cara yang digunakan untuk melawan terjadinya pembuahan.

1.2 Macam-macam Kontrasepsi
a. Kondom, merupakan jenis kontrasepsi penghalang mekanik. kondom mencegah kehamilan dan infeksi penyakit kelamin dengan cara menghentikan sperma untuk masuk ke dalam vagina. Kondom pria terbuat dari bahan latex (karet), polyurethane (plastic), dan kondom perempuan terbuat dari polyurethane.
b. Diafragma, meupakan alat kontrasepsi yang berbentuk tudung/mangkuk yang terbuat dari karet dan bersifat fleksibel. Selain mencegah kehamilan, diafragma juga efektif mencegah kanker rahim. Untuk menggunakannya diafragma dilengkapi dengan zat pembunuh sperma.
c. Suntikan, biasanya diberikan setiap 3 bulan sekali. Suntikan kontrasepsi mengandung hormon progesteron yang menyerupai hormon progesterone yang diporduksi oleh wanita selama dua minggu pada setiap awal siklus menstruasi. Hormon tersebut mencegah wanita untuk melepaskan sel telur sehinga memberikan efek kontrasepsi.
d. Susuk, merupakan alat kontrosepsi yang berbentuk batang dengan panjang sekitar 4 cm yang di dalamnya terdapat hormon progesterone, dan dimasukan ke dalam kulit di bagian lengan atas. Alat kontraseksi ini secara efektif dapat digunakan selama 3 tahun.
e. Pil, mengandung kombinasi hormon estrogen dan progesteron, dan merupakan salah satu cara pencegahan ekonomi paling ekonomis karena harga paling murah. Pil; ini bekerja dengan cara mencegah ovulasi, dan mengentalkan lender serviks sehinga tidak bisa mencapai uterus.
f. Sterilisasi, metode ini merupakan salah satu alternatif pencegahan kehamilan secara permanen. Pada perempuan produk ini dikenal dengan istilah tubektomi, yaitu pemotongan atau penutupan saluran telur, dan pada laki-laki melalu proseur vasektomi, yaitu pengikatan atau pemotongan saluran sperma.

1.3 Penilaian Moral Katolik Terhadap Tindakan Kontrasepsi
Sikap Gereja Katolik terhadap praktik kontrasepsi secara amat nyata terbaca dalam ensiklik Humanae Vitae (selanjutnya HV) yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968. Secara garis besar HV menegasakan bahwa perkawinan adalah institusi yang ditetapkan oleh Tuhan untuk mewujudkan rencana kasihNya, maka cara perwujudananya haruslah sesuai dengan kehendaknya. Tuhan berkehendak agar suami istri dapat saling membantu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan, dan dapat bekerja sama denganNya untuk mendatangkan kehidupan baru.
Untuk memahami pengaturan kelahiran, sesorang harus mempunyai gambaran yang total tentang manusia. Jadi, harus dilihat dimensi kerohanian dan kekekalan manusia, dan bukan hanya dimensi manusia di dunia (HV 7). Hubungan suami istri harus dilihat sebagai sesuatu yang luhur karena bersumber dari Allah Bapa. Allah mengingingkan agar di dalam ikatan perkawinan, suami dan istri saling memberikan diri secara total, agar mereka dapat saing menguduskan dan bekerja sama untuk mendatangkan kelahiran. Maka, untuk kedua orang yang sudah dibaptis, perkawinan merupakan sakramen tanda rahmat Allah, yang melambangkan persatuan Kristus dengan Gereja (HV 8).
Dalam perkawinan terdapat dua aspek yang tak terpisahkan, yaitu persatuan dan prokreasi (HV 12), artinya perkawinan direncanakan Tuhan untuk mempersatukan suami istri, dan persatuan itu selayaknya harus terbuka terhadap kehidupan baru. Dalam hal ini kesuburan dan anak harus dilihat sebagai berkat dari Tuhan (bdk Kej 1:28), dan bukannya kutuk yang harus dihilangkan. Jika hubungan suami dan istri dilakukan demi memuaskan sebelah pihak maka hal itu bukan merupakan tindakan yang sejati. Tindakan yang mencegah sebagaian atau seluruh bakal kehidupan baru merupakan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, termasuk di dalamnya sterilisasi (HV 13, 14), karena hal tersebut menolak prokreasi dan menolak karunia Tuhan. Maka, yang diizinkan Gereja untuk mengatur kelahiran adalah perencanaan secara alamiah, yang melibatkan penguasaan diri dan pantang berkala dengan maksud mewujudkan kasih, perhatian dan kesetiaan timbal balik sebagai bukti kasih sejati (HV 16).
Namun Gereja tidak menganggap segala tindakan terapi disebut dosa dan pada kasus tertentu untuk menyembuh penyakit, Gereja memperbolehkan tindakan tersebut, asalkan tidak secara langsung dimaksudkan untuk mencelakakan janin (HV 15). Cara KB alamiah bukanlah kontrasepsi, karena melalui cara ini suami dan istri mempergunakan kondisi alamiah dengan berpantang pada saat subur untuk menghindari kelahiran, dan bukannya merintangi kesuburan tubuh (HV 16).
Pengaturan KB alamiah ini dilakukan antara lain dengan cara pantang berkala, yaitu tidak melakukan hubungan suami istri pada masa subur istri. Hal ini sesuai dengan pengajaran Alkitab, yaitu “janganlah kamu saling menjauhi kecuali bersama dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1 kor 7:5). Dengan demikian suami istri dapat hidup di dalam kekudusan dan menjaga kehormatan perkawinan dan tidak mencemarkan tempat tidur (bdk. Ibr 13:4). Walaupun ajaran ini sulit diterapkan, namun bukannya tidak mungkin, dan jika diterapkan, akan mendatangkan buah yang baik bagi suami istri. Di akhir ensiklik, Paus menegaskan bahwa manusia tidak dapat hidup bahagia, tanpa mengormati hukum yang ditanamkan Tuhan di dalam dirinya. Hukum ini harus ditaati dengan pengertian kasih (HV 31).

2. Seks Pra-nikah dan Seks Bebas
2.1 Pembatasan Istilah
Seks Pra-Nikah sebetulnya lebih merujuk pada hubungan seksual (persetubuhan) yang dilakukan oleh mereka yang berada pada proses untuk melangsungkan pernikahan. Hubungan ini bisa terjadi pada masa pacaran atau pada masa pertunanganan. Sedangkan term free sex atau seks bebas lebih merujuk pada mereka yang melakukan praktek hubungan seksual (persetubuhan) dengan lebih dari satu pasangan tanpa ikatan, janji atau proses untuk sampai kepada pernikahan.

2.2 Penilaian Moral terhadap Hubungan Seks di Luar Nikah
Sikap Gereja Katolik menolak dan melarang hubungan seksual di luar nikah sebetulnya berakar pada hukum natural yang melekat pada manusia itu sendiri. Bahwa demi menghargai martabat manusia yang jauh lebih tinggi dari segala ciptaan yang lain, maka tampak bahwa hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan bisa: merendahkan dan menghina kebajikan nilai seksualitas manusia itu dan bahwa manusia dipanggil selalu untuk bersatu secara utuh sebagai pribadi-pribadi dengan komitmen sempurna untuk saling memberi diri satu sama lain. Hubungan seksual tanpa menikah merendahkan maksud ini, karena yang dicari semata-mata adalah kepuasan seksual tanpa komitmen yang diikrarkan untuk saling mencintai, menghormati satu sama lain.
Ajaran Gereja tentang immoralitas hubungan seksual di luar pernikahan juga terutama berdasarkan pada keyakinan bahwa sabda Allah sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci dan tradisi secara bersamaan menghukum tindakan hubungan seksual seperti itu. Kitab Kejadian 1:27 mengatakan bahwa, ”Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya... dan sebagai laki-laki dan perempuan Ia menciptakan mereka.” Kesecitraan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki martabat yang luhur dan tinggi dibandingkan dengan segala ciptaan yang lain. Oleh karena martabat laki-laki dan perempuan yang luhur inilah, maka persatuan seksual menuntut pemberian diri yang total, cinta yang bebas dan utuh tak terbagi. Di luar ini hanya akan ada kebohongan dan pembungkaman terhadap bahasa dalam tubuh pria dan wanita itu sebagai pribadi bermartabat sejajar, sebagaimana dikaruniai oleh Allah sendiri. Literatur Kebijaksanaan misalnya selalu mengingatkan manusia supaya berhati-hati atau waspada terhadap dosa-dosa yang bisa muncul karena dorongan hawa nafsu yang tak teratur ini. Karena itu segala bentuk perzinahan atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan digambarkan sebagai suatu pemurtadan terhadap Allah dan memilih untuk mengabdi kepada berhala-hala.
Ajaran kitab suci perjanjian baru juga menilai segala bentuk hubungan seksual di luar ikatan perkawinan sebagai suatu dosa serius. Ajaran ini tampak dalam sejumlah pemakaian istilah porneia untuk mengutuk relasi seksual tanpa atau di luar ikatan perkawinan. Kata ini selalu diartikan dengan perzinahan. Padahal sebetulnya kata ini juga tidak hanya merujuk semata-mata pada hubungan seksual sebelum menikah. Matius dan Markus misalnya mengatakan bahwa Yesus memasukkan porneia dalam daftar tindakan jahat yang membuat seseorang menjadi tak murni (Mt 15,19; Mk 7:21). Dalam semua tulisannya St. Paulus selalu mengajak umatnya untuk menjauhi percabulan. Misalnya kepada jemaat di Korintus dia mengingatkan bahwa tubuh sama sekali tidak dimakudkan untuk percabulan tetapi untuk Tuhan (I Kor 6:13,14). Paulus kemudian meminta: Jauhkanlah dirimu dari percabulan. Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi diluar dirinya (tubuhnya); Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Tidak tahukan kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah (I Kor 6:18-19).
Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio no. 11 menulis: Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup.” Penyerahan diri yang total ini mungkin kalau pria dan wanita itu tidak memisahkan seksualitas dari aspek spiritual (kejiwaan atau kerohanian) yang melekat pada tubuh mereka. Dalam kasus free sex orang hanya memberikan tubuhnya sesaat saja dalam persetubuhan dan setelah itu mereka berpisah, saling meninggalkan satu sama lain, karena tiadanya ikatan. Ketidakhadiran karena perpisahan inilah yang justru membohongi bahasa dalam tubuh yang memang selalu rindu untuk bersatu dengan pribadi lain secara utuh dan terus menerus.
Konsili Vatikan II mempertegas kebenaran ini: persetubuhan itu luhur dan terhormat. Jikalau tindakan ini dilaksanakan secara manusiawi, maka akan sangat berpengaruh kepada penyerahan diri timbal balik di antara suami dan istri (Gaudium et Spes 49). Itu sebabnya tidak ada persetubuhan yang benar, kalau tidak dilandasi oleh cinta kasih yang total, pemberian diri yang sempurna, yang merujuk pada ikatan perkawinan. Sebab dalam ikatan perkawinan tindakan persetubuhan sejalan dengan tuntutan dan dijamin oleh pemberian diri yang total, ketulusan, kesetiaan, prokreasi dan panggilan untuk pendidikan anak-anak. Di luar ikatan perkawinan sekali lagi aktivitas genital itu tidak lain suatu kebohongan.

3. Perzinahan dan Perselingkuhan
3.1 Arti Perselingkuhan
Perselingkuhan bisa juga disebut sebagai berzinah ketika seorang suami atau istri melanggar janji perkawinan yang telah mereka ucapkan di hadapan Tuhan untuk saling setia satu sama lain dalam suka dan duka, dalam untug dan malang. Janji itu dilanggar dengan melakukan tindakan persetubuhan, yang artinya pemberian tubuh dan diri pribadi yang total bukan lagi kepada pasangan resminya, melainkan pada pihak ketiga di luar ikatan perkawinan itu sendiri yang tak terpisahkan dan tak terceraikan.

3.2 Penilaian Moral Kristiani tentang Perselingkuhan
Ajaran kitab suci Perjanjian Lama dengan jelas memperlihatkan perkawinan antara seoarang laki-laki dan seorang perempuan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Persatuan asali yang terjadi pada awal mula ketika Allah membawa perempuan kepada manusia (Adam) dengan jelas menegaskan persatuan yang memang tak mungkin terpisahkan lewat term SATU DAGING. ”Kata manusia itu: ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”..sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu” (Kej 2:23-24). Dengan ini jelas bahwa sejak awal mula Allah memang menghendaki perkawinan itu monogami (antara seorang lelaki dan seorang perempuan).
Dalam tulisan Kitab Suci Perjanjian Baru, Yesus secara tegas menghukum dengan keras segala bentuk perzinahan. Bahkan Ia menyatakan bahwa akar dari segala perzinahan, sebetulnya adalah ketegaran hati manusia itu sendiri. “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18, lih. Mrk 10:11). Tema ini kemudian dikembangkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:28-33. Paulus menggambarkan ikatan perkawinan sebagai suatu ikatan yang tak terpisahkan dan menjadi tanda ikatan yang sempurna antara Kristus dengan Gereja.
Pesoalan perselingkuhan atau perzinahan juga mendapat sorotan khusus dalam Katekismu Gereja Katolik. Katekismus lebih menilai perselingkuhan sebagai suatu ketidaksetiaan suami istri dan sebagai suatu praktek ketidakadilan dengan merujuka selalu pada ajaran Kitab Suci. Kedua hal ini bisa dibaca pada No. 2380: Perzinahan, artinya ketidaksetiaan suami isteri. Selanjutnya pada No. 2381 dikatakan: Perzinahan adalah satu ketidakadilan. Siapa yang berzinah, ia tidak setia kepada kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian dalam kaca mata Kristiani perselingkuhan adalah dosa.

III. Penutup
Seksualitas memang selalu mempesona. Daya tarik seksual bisa membangkitkan dan membingungkan kita. Dalam etika moralitas kristiani, penjelasan tentang moralitas seksual mestinya diajarkan dalam Gereja dengan semangat sebagaimana yang Kristus ajarkan sendiri. Bagiamanapun tema moralitas seksual tidak bisa terpisahkan dari kesetiaan Gereja kepada ajaran Kitab Suci, wahyu Tuhan sendiri, yang melihat seksualitas manusia sebagai baik adanya, dan bahwa Kitab Suci serta ajaran magisterium Gereja tidak lain dimaksudkan untuk menghantar semua orang yang berkehendak baik kepada suatu bentuk penghayatan seksualitas yang manusiawi, yang sesuai dengan martabatnya sebagai Gambar dan Rupa Allah.

Dibawakan dalam pertemuan dengan
OMK di paroki Watuneso-Ende
(Hasil rangkuman bahan kuliah Moral Seksualitas Semester 6 STFK Ledalero)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar