Senin, 30 Agustus 2010

Kelimutu: Antara Kultus Penyembahan Roh Leluhur dan Keengganan Publik (Suatu Tinjauan Berdasarkan Dokumen Gereja Gaudium et Spes No.30)




Dalam sejaeah perkembangna pariwisata di Indonesia, Kelimutu bukanlah salah satu objek wisata tertua yang seing dikunjungi oleh para wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dibandingkan pariwisata di Pulau dewata Bali, kelimutu jauh ketinggalan di belakangnya, karena sejak jaman penjajahan, pemerintahan Hindia Belanda telah menaruh perharian yang penuh untuk perkembangna pariwisata di Bali. Baru sejak awal pemerintahan presiden Soeharto, lewar perhatian yang besar dari pihak pemerintah untuk mengembangkan pariwisata sebagai sumbar devisa bagi Negara, barulah Kelimutu menjadi salah satu objek pariwisata di Flores yan gsering dikunjungi. Samapi dengan tahun 1980-an sudah ada turis perualangan yang dan akhirnya dibentuk tour operator yang bekerja di sana. Selain Labuan Bajo, Kelimutu (gunung dan danua menjadi salah satu objek pariwisata yang sering dikunjungi akgir-akhir ini dengan desa moni yang terletak di bawah kaki gunungnya sebagai desa pariwisata.
Saat ini, kelimutu yang sedianya terdapat tiga danau unik sebagai objeknya, kini telah berganti nama yang lebih lengkap Taman Nasional kelimutu. Kita bisa melihatnya ini di pinggit jalan raya Ende-Maumere. Ini berarti Ketiga danau bukan hanya salah satu obejek pariwisata tetapi selain itu juga ada objek lain yang dapt dinikmati seperti panorama alam lainnya sperti tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di sana. Meskipun demikian akhir-akhir ini kelimutu yang dulunya ramai dikunjungi wisarawan, akhir-akhir ini kelihatan semakin menurun, baik itu wisatawan asing maupun domestik. Salah satu faktor penyebab menurunnya prosentase praktek misitis-magis yan gmasih kental. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba melihat pengaruh praktek mistis-magis masyarakat Lio yang mempunyai dampak negatif menurunnya wisatawan yang berkunjung ke sana.

Kelimutu: Locus Penyembahan Para Leluhur
Dalam pandangan orang Lio kematian merupakan saat perpisahan antara jiwa dan badan. Pada saat kematian, jiwa (mae) akan terlepas dari badan (tebo) dan kembali ke tempat asalnya. Perpisahan ini menyebabkan manusia tidak lagi menjadi manusia yang utuh karena yang tinggal tetap hanyalah jiwa. Pada waktu oran gmeninggal jiwa akan meninggalkan badan dan pergi ke alam baka. Masyarakat Lio meyakini alam baka, tempat tinggal semua arwah yang telah meninggal adalal Kelimutu. Terdapat tiga danau di Kelimutu, tempat tinggal aewah orang yang sudah meninggal, yakni; pertama, danau tiwu ata bupu ( danau untuk orang tua yang berwarna hitam) dipercayai menjadi tempat tinggal para aewah dari kalangan orang tua. Kedua, danau tiwu nuwa muri jemu (danau untuk muda yang berwarna hijau pucat) yan dipercayakan sebagaitempat tinggal oran gmuda. Ketiga, danau tiwi ata polo (danau untuk para suanggi yangberwarna hitam) diyakinisebagai temapt tinggal kaum sunaggi. Sedmua aewah orang yang meninggal diyakini akan pergi dan menetap di puncak Kelimutu.
Keyakinan yang mempunyai dasat yang amat kuat dan berurat akat dalam masyarakat Lio melahirkan berbagai macam ritus tertentu yang dibuat di puncak Kelimutu. Kultus ini berkaitan dengan penyembahan dan penghormatan kepada para leluhur yan gsudah meninggal dunia. Salah satu upacata ritual yan gmasih sering dibuat di Kelimut adalah ritus Pa’aLoka. Dalam bahasa Lio paaloka meupakan gabungan dari dua suku kata paa dan loka. Paa berarti menyimpan atau menaruh. Sedangkan Loka artinya tumpah, menumpahkan atau juga membuang. Paa loka berkaitan dengan makanan yan gdisajikan kepada oran gtelah meninggal atau sesuatu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib. Jadi, paaloka adalah member makanan kepada arwah oran gyan gmeninggal atau sesuatuyan gdipercaya mempunyai kekuatan gaib.
Berkaitan dengan keyakinana-kayakinan yang kuat akan adanya arwah oran gyan meninggal lewat berbagai macam acara ritual, kekayaan buidaya yan gharus dijaga dan dilestarikan karena mempunyai nilai yan gunik dank has budaya setempat. Tetapi di pihak lain, acara seperti ini ternyata menimbulkan keengganan dan ketakutan untuk datang berkunjung ke Kelimutu. Terutama untuk wisarawan domestic, sangat jarang bahkan dilarang untuk berpergian sendiri ke Kelimutu. Beberapa peristiwa kehilangan wisatawan di Kelimutu embuat otan gmerasa cemas untuk berkunjung secara sendirian ke Kelimutu. Selain itu, ada tindakan-tindakan berisafat ekstrim dan fatalistik karena terobesi keyakinan kan tempat itngal para aewah, beberpa orang harus nekad bunuh diri dengan melompat kawah danau. Disinyalir factor penyebabnya selain karena berbagai masalah yan gpelik tetapi juga keyakinan bahwa mereka langsung ke tempat perisitirhatan yan gterakhir. Kejadian ini hampir terjadi setipa tahun sehingga ini meresahkan masyatakat akan objek wisata Kelimutu. Meteka mulai menilai Kelimtu menjadi sangat angker dan mempyaui kekuatan magis.

Membaca Dokumen Gereja Gaudium et Spes No.30 dan Relevansi Praktisnya
Gaudium et Spes (GS) No.30 berbicara tentang etika individualis yang harus ditaati. Di sini, penulis tidak bermaksud mempersolakan praktek penymbahan para leluhur sebagai sebuah ritual kekafira sebagaimana ditentang oleh ajaran Kristen, tetapi penulis melihat sebagai bagian dari persoalan individual yang harus diatasi. Yang termasuk dalam persolana individual ini adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak dan merugikan banyak pihak. Beberapa tindakan yang dilakukanindividu atau kelompok tertentu berdampak pada kebijakan dan perhatian public.
Dalam paragraph pertama GS No. 30 tertera himbauan untuk tidak mengikuti etika individu semata-mata. “Mendalam serta pesatnya perubahan lebih mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, Karena mengabaikan perkembangn ajaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis semata-mata”. Kalimat ini tentunya menegaskan kepada kita supaya tidak mengandalkan peilaku individual kita dalam persoalan-persoalan public. Perilaku individual kita cenderung bersifat subjetif dan kadangkala mengabaikan etika kebersamaan. Lebih lanjut ia menegaskan: “ Ada saja yang kendati menyuarakan pandangan-pandangan yang luas dan bernada kebesaran jiwa, tetpai menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali ridak mempedulikan masyarakat”. Dengan demikian etika individual mestinya dibatasi dalamranah public yang mengarahkan oran gpada kebaikan bersama (bonum communae).
Kembali kepada kasus di atas, terdapat dua persoalan yang diangkat, yakni ritual penyembahan dan penghoramtan para leluhur dan aksi bunuh diri yang dilakukan di Kelimutu. Di satu pihak, ritus penyembhan dan penghormatan arwah para leluhur ini mengndikasikan keunikan dan kekyayaan kazanah budaya lokal, tetapi di sisi lain, ritus ini mendatangka kecemasan dalam diri pengunjung. Ritus ini diyakni mempunyai daya magis yang tinggi dan bisa merenggut nyawa orang. Karen aitu para para wisatawan, terutama wisatawan domestic merasa enggan untuk ke Kelimutu lagi karena mempunyai daya magis yang tinggi. Persoalan bunuh diri ini, menambah kecemasan dalam diri pengunjung. Mereka mulai beranggapnan bahwa, Kelimutu selalu menutnut korban nyawa manusia setiap tahunnya. Padahal jika dipikir secara kritis, perilaku bunuh diri ini murni merupakan tindakan subjektif individual karena motif tertentu.
Terhadap persoalan seperti ini, dalam terang Gaudium et Spes No.30, hendaknya perilaku individual kita harus dibatasi dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan public. Paiwisata bersubjekan banyak pengunjung, sehingga segala bentuk ritual budaya maupun perilaku indivud tertentu, sedapat mungkin untuk tidak mendatangkan kecemasan dalam diri pengunjung. Apalah arti sebuah bojek wisata tanpa kehadiran pengunjung. Ia hayan akan menjadi wisata bisu yang gema keindahannya tidak didengarkan orang lain. Meskipun panorama pariwisara tersebut sangat indah, tetapi dianggap berpotensi mendatangkan bahaya, orang akan tetap merasa enggan untuk berkunjung dan menikmatinya. Karena itu, berbgai praktik ritual dan perilaku individual seperti ini, mestinya diadaptasi dan diatasi sehingga tidak menghalnagi public utnutk mengunujng dan menikmatinya. Hal ini mungkin terjadi bila masing-masin gperorangna dan kelompok mengmanbkan keutamaan-keutaman moral dan sosial ddalam diri mereka (GS No.30, pargraf ke-2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar