Senin, 27 September 2010

Demokrasi Pendidikan Formal

Rukhe A.Woda
Mahasiswa STFK Ledalero

Beberapa hari lalu, Senin 13 September 2010, penulis berkesempatan mengikuti diskusi (lebih tepatnya bincang-bincang) bersama Bapak Dr. Ignas Kleden yang diselenggarakan Forum Diskusi Filsafat Ledalero. Di luar dugaan saya bahwa Bapak Ignas Kleden, seorang sosiolog dan kritikus sastra akan berbicara tentang sekolah demokrasi di Indonesia, sebuah institusi pendidikan informal yang didirikan beberapa tahun yang lalu. Saya merasa tertarik dengan dua hal pokok yang diberikan dalam sekolah ini. Pertama, memperkenalkan nilai-nilai demokrasi bagi para peserta sekolah. Kedua, sekolah ini mengajarkan pengetahuan dasar tentang demokrasi dan membantu perkembangan keterampilan berdemokrasi.
Sebuah pertanyaan terlintas dalam benak saya, jika pendidikan informal saja sudah berpikir dan menjalankan nilai-nilai demokrasi, apakah institusi pendidikan formal juga telah melakukan hal yang sama? Tanpa berpretensi mengulas semua realitas buruk dunia pendidikan, penulis terobsesi untuk menampilkan dua persoalan utama yang menggambarkan bahwa institusi pendidikan formal belum sepenuhnya demokratis.

Desentaralisasi Kurikulum
Demokrasi pendidikan formal di Indonesia mesti dimulai dari sistem dan pola pendidikan. Pertama, sistem pendidikan mesti beralih dari pendidikan bergaya sentralistik ke pendidikan demokrasi dimana setiap pelaku pendidikan bebas mengaktualisasikan dirinya. Salah satu biang keladi kegagalan pendidikan di indonesia adalah sistem pendidikan nasional yang bersifat penyeragaman dan sentralistik. Sistem pendidikan ini merupakan hasil dari UU no. 2 tahun 1989 yang telah dipoltisasi guna melestarikan kekuasaan pemerintah pada waktu itu, dengan dalil demi penyelamatan dan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Demokrasi pendidikan memang harus dimulai dengan demokrasi kurikulum. Sejauh kurikulum masih dibentuk oleh pemerintah sentral (penguasa) atau kelompok tertentu maka demokrasi sekolah sulit berjalan. Kurikulum yang diatur secara sentralistik olek pemerintah akan membuat orang menjadi spektator atau penonton yang pasif, bukannya kreator atau pencipta yang berpartisipasi secara penuh dalam pembelajaran. Karena pola pendidikan yang sentralistik maka pelaku-pelaku pendidikan hanya dibuat tunduk dan taat oleh pihak pemerintah.
Kedua, pola mendikte guru terhadap murid. Tidak bisa kita pungkiri, sering kali terjadi hubungan yang tidak dialogal antara guru dam murid. Guru sering kali bertindak lebih dominan dan cendrung proaktif karena menganggap ia lebih senior sedangkan murid-murid lebih pasif dan reseptif karena mereka berada di posisi subordinat. Pola mendikte dan bahkan kekerasan yang dilakukan guru bukanlah cerminan relasi dialogis.

Pendidikan Yang Berakar pada Realitas dan Kembali ke Realitas
Persoalan mengenai pendidikan bukan hanya berkisar pada komponen pendidikan serta sarana dan prasarana pendidian, tetapi satu fenomena umum yang dirasakan sebagian masyarakat adalah pendidikan yang tidak menyentuh sisi kehidupan masyarakat. Pendidikan dinilai tidak banyak mempunyai dampak positif bagi perubahan kehidupan, entah kepada pendidik, maupun kehidupan anak didik. Dalam hal ini yang diterima dari pendidikan adalah konsep-konsep abstrak yang sangat jauh dari realitas kehidupan masyarakat.
Berkaitan fenomena ini, Prof. Djohar Ryanto, seorang pemerhati pendidikan asal Yogyakarta pernah memberikan komentar sinis bahwa pendidikan di indonesia hanya mengajak anak didik menjadi “makelar-makelar” pengetahuan tekstual. Dengan kata lain siswa-siswi tidak diarahkan untuk mempelajari hal-hal nyata yang ada di lingkungan mereka. Dampaknya mereka tercetak sebagai manusia-manusia yang terlepas dari realitas lingkungan dan kondisi nyata masyarakatnya.
Dalam takaran ini pendidikan yang berkembang menjadi tidak bermakna dan bermanfaat, tidak memilki nilai transformatif apa pun karena tidak menjadikan anak didik lebih mengenal lingkungan masyarakatnya. Sebagai contoh kasus pendidikan anti realitas dalam pembelajaran di Papua, yakni anak-anak SD di Papua harus belajar tentang kereta, becak, Siti, Budi, dan lain-lain (pembelajaran jawasentris) yang tidak ada di sekitarnya.
Fenomena pendidikan seperti ini, juga dikritik oleh Freire dalam bukunya Learning To Question. A Pedagogy of Liberation (1989). Menurutnya suatu pendidikan tidak bisa hanya dikembangkan atas dasar konsep-konsep yang abstrak, tetapi harus menyentuh sisi kehidupan manusia. We should not start from a concept in order to understand reality, but what we should do is strarr from reality so as via consepts to understand reality. Dengan demikian model pendidikan di Indonesia perlu diubah agar lebih bermanfaat. Pendidikan sudah semestinya berakar pada realitas dan kembali kepada realitas.
Sudah lama dunia pendidikan formal (sekolah) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi siswa didik dalam mengeksplorasi dan menumbuh-kembangkan jati dirinya. Sekolah tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para murid. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Pendidikan harus menghantar orang menyadari dirinya, mengenali potensi-potensi yang dimilikinya untuk diaktualisasikan selanjutnya. Materi-materi yang disajikan juga tidak mengasingkan pelaku-pelaku pendidikan melainkan membuat peserta didik dan pendidik merasa sebagai masalahnya sendiri.
Pada akhirnya pendidikan dapat menyentuh realitas yang ada dan masuk ke dalam ruang kehidupan masyarakat, atau meminjam bahasa sekolah demokrasi, “dapat diterjemahkan ke dalam ekspresi lokal”. **

1 komentar:

  1. Casinos Near Me - Blackjack - JamBase
    It's just a matter 영주 출장안마 of time before casinos have to go underground and start earning cash,” says 창원 출장마사지 the executive who's worked with casinos 김포 출장샵 for 강원도 출장샵 years now. 강릉 출장안마 The casino

    BalasHapus