Rabu, 19 Mei 2010

GEREJA KATOLIK VERSUS HOMOSEKSUALITAS

I. Pendahuluan
Dalam suratnya kepada para Uskup pada tahun 1986 tentang karya pastoral bagi kaum homoseksual, Kardinal Yoseph Ratzinger menulis: “Meskipun kecendrungan khusus kaum homoseksual bukan merupakan dosa, namun hal itu paling tidak sangat kuat tendensinya mengarah kepada suatu kejahatan moral yang hakiki” Sejak menjabat sebagai kepala ajaran iman Gereja, Ratzinger telah mengambil sikap tegas terhadap persoalan homoseksual. Ia bahkan mengecam dengan amat keras sikap beberapa Uskup yang tidak ortodoks dalam persolan ini.
Berhadapan dengan situasi yang kian kompleks, kata-kata Ratzinger (sekarang Paus Benediktus ke XVI) di atas, memperlihatkan bahwa Gereja masih mempunyai sikap otonom terhadap berbagai macam persoalan moral yang berkembang. Meskipun demikan, pandangan Gereja seperti ini menuai pelbagai kritikan. Dua hal utama yang menjadi intisari kritikan, yakni. Pertama, berlawanan dengan arus modernisasi dengan adanya kreativitas dan eksplotasi seks besar-besaran. Terhadap persoalan pertama ini Gereja dinilai amat konvensional. Kedua, pandangan Gereja seperti ini dinilai amat dilematis dan mempunyai sisi ambiguitasnya. Kritikan ini datang dari dalam Gereja sendiri, berkaitan dengan apakah diperbolehkan para agen pastoral berkarya di tengah kaum homoseks, sementara Gereja sendiri melarang praktik homoseksual? Apakah kaum homoseks harus menyandang predikat sebagai orang berdosa? Bagaimana sikap yang diambil Gereja untuk mengkritisi masalah ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan digumuli dalam tulisan ini.

II. Memahami Homoseksualitas
2.1 Arti Homoseksualitas
Pria dan waninta yang normal hanya tertarik secara seksual kepada orang dari jenis kelamin yang lain. Pria tertarik kepada wanita, dan sebaliknya wanita tertarik kepada pria. Namun kenyataan membuktikan bahwa beberapa pria maupun wanita tertarik secara seksual kepada orang yang sejenis kelamin dengan mereka. Kenyataan seperti inilah yang dinamakan dengan homoseksual. Sepasang pria atau wanita yang berinteraksi seksual disebut pasangan homoseks. Kamus umum bahasa Indonesia mendefinisikan arti homosesksual sebagai rasa birahi terhadap orang yang sama jenis dengannya, sesama laki-laki atau sesama perempuan, sedangkan homoseksualitas mengacu pada sifat homoseksual. Dengan demikian arti homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan.
Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama. Homoseksualitas hanya dikenakan pada hubungan cinta yang sudah amat mendalam antara dua orang sejenis kelamin dan bila kemesraan mereka sudah begitu jauh, sampai pada hubungan seksual seperti layaknya suami-istri. Hubungan semacam ini biasanya disebabkan karena adanya kelainan mental seksual pada salah satu atau bahkan kedua-duanya. Karena itu, seorang yang betul-betul bermental homoseksual lebih layak dianggap sebagai penderita sakit daripada seseorang yang bertindak amoral.

2.2 Beberapa Term Yang Sering Muncul
Ada beberapa term atau istilah yang sering muncul dan menimbulkan pemahaman yang rancu berkaitan dengan homoseksualitas. Pertama, homofilia. Homofilia adalah pengalaman jatuh cinta kepada orang sejenis kelamin, tetapi cinta itu belum begitu mendalam dan baru diungkapkan dengan kemesraan ringan seperti saling merangkul, saling, memeluk, dan saling mencium. Pada homofilia tidak terjadi permainan seksual setingkat hubungan seksual pada suami-istri. Homofilia ini sering terjadi karena lingkup pergaulan yang hanya terbatas pada teman-teman sejenis kelamin saja.
Kedua, Lesbianisme, yaitu mengacu pada interaksi seksual antara sesama jenis, tetapi lebih dikhususkan kepada wanita. Ketiga, heteroseksualitas dan biseksualitas. Heteroseksualitas menyangkut hubungan seksual yang dilakukan dengan perempuan dan laki-laki, sedangkan biseksualitas mengacu pada interaksi seksual baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Keempat, gay dan lesbian. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.

2.3 Penyebab Homoseksualitas dan Stigma Masyarakat
Hubungan homoseksual dapat disebabkan karena adanya kelainan mental seksual pada salah satu atau bahkan kedua-duanya. Ia lebih membutuhkan bantuan untuk penyembuhan daripada teguran yang mendakwa. Lain halnya bila orang melakukan hubungan homoseksual padahal ia sebenarnya normal dan tahu bahwa apa yang dilakukan itu memang salah. Bila ia tetap melakuan kegiatan homoseksual dan tidak mau meninggalkan kenikmatan seksual yang ia alami, ia bertanggung jawab atas tindakan yang salah itu. Ia harus dibantu untuk bertobat dan mau lepas dari partnernya.
Kebanyakan orang yang terlibat hubungan homoseksual memiliki latar belakang kehidupan yang sulit sejak masa kanak-kanaknya walaupun sebagian juga karena terpengaruh lingkungan setelah dewasa. Mereka adalah orang-orang paling membutuhkan dukungan dan belas kasihan. Dengan orientasi seksual mereka sudah cukup menderita karena merasa lain dari yang lain. Hal ini mempertegas bahwa homoseksualitas umumnya merupakan dampak dari kerja sama faktor pengalaman hidup dahulu dan bawaan seorang pribadi.
Masyarakat umum biasanya tidak membeda-bedakan hubungan-hubungan yang tidak normal di atas, karena kurang memahami seluk beluk permasalahannya. Akibatnya mereka yang memang menderita kelainan mental seksual akan sangat menderita karena ejekan dan sikap sinis yang ditimpakan masyarakat pada diri mereka. Masih banyak anggota masyarakat yang menganggap homoseksualitas sebagai penyakit menular atau borok yang mengerikan. Di Indonesia, kaum gay, lesbian atau juga transgender menjadi bahan lelucon dan ejekan (drama, komedi TV mempertontonkan stereotype gender dgn ejekan). Padahal mereka juga manusia yang butuh penerimaan dan apresiasi diri. Sikap penolakan masyarakat selanjutnya juga membawa mereka pada perasaan terbuang dan terasing sehingga membuat jalan pemulihan menjadi lebih sulit.

III. Gereja dan Homoseksualitas
3.1 Pandangan Gereja Tentang Homoseksualitas
3.1.1 Tinjauan Biblis
Sejak awal Alkitab berbicara mengenai adanya dua macam gender laki-laki dan perempuan dengan orientasi seksual masing-masing yang disebut sebagai bergambar Allah. Pernikahan heteroseksual yang monogami menjadi penyatu kedua gender itu: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan mereka (Kej 1:27). Sekalipun tidak secara eksplisit, ayat-ayat itu jelas menunjukkan bahwa sejak awalnya hanya dua macam gender yang diciptakan, maka adanya kecenderungan homoseksualitas adalah kelainan atau penyimpangan. Demikian juga perkawinan heteroseksual dan monogami menjadi satu-satunya perintah yang diberikan yang dikaitkan dengan tugas beranak cucu.
Kisah Sodom dan Gomora merupakan contoh dimana nama kota Sodom kemudian digunakan untuk perilaku hubungan seks sesama jenis yaitu sodomi. Ini disebut sebagai kelakuan dosa dan menimbulkan keluh kesah. “Sesungguhya banyak keluh kesah orang-orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya sangat berat dosanya” (Bdk. Kej.18:20-21;19:4,5). Kitab Imamat melarang hubungan seks homo sama halnya dengan perzinahan dan penyimpangan seksual lainnya (Bdk. Im.18:22;20:13).
Dalam Perjanjian Baru, secara eksplisit disebutkan juga bahwa Paulus menyalahkan hubungan homoseksual. “Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam birahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.” (Rm.1:26-27). Yesus tidak secara eksplisit berbicara mengenai homoseksualitas, namun jelas secara implisit Ia meneguhkan firman dalam kitab Kejadian tentang penciptaan laki-laki dan perempuan (Mat.19:4), dan Ia menyebut hubungan suami-isteri secara seksual dalam pernikahan sebagai kodrat (ay.5) dan agar tidak bercerai (ay.6). Dalam konteks ini Yesus menyebut perkawinan sebagai hubungan seksual hetero sebagai suami isteri yang monogamis.

3.1.2 Ajaran Gereja Tentang Homoseksualitas
Tradisi Kristen mengajarkan seksualitas manusia normatif manusia bersifat heteroseksual dan mengarah pada perkawinan serta memiliki hubungan intrinsik dengan pengadaan keturunan, cinta, dan kesetiaan. Dalam penjelasan konggregasi ajaran iman menyangkut masalah etika sosial tahun 1975 (Persona Humana) tertera bahwa homoseksualitas konstitusional harus ditangani dengan penuh pengertian, “Menurut tatanan moral objektif hubungan homoseksual adalah tindakan-tindakan yang kehilangan tujuan yang hakiki dan mutlak”. Surat Konggregasi Ajaran Iman kepada para uskup Katolik (1986) sekali lagi memperkukuh penegasan yang sama bahwa perbuatan homoseksual merupakan sebuah dosa. Pandangan seperti ini bertahan sampai dengan saat ini
Gaudium et Spes (48-50) mempertegas bahwa homoseksual merupakan tindakan yang haram secara moral karena tujuan ganda seksualitas tidak terpenuhi, yakni lahirnya kehidupan baru dan saling cinta suami-istri. Tindakan homoseksual dinilai tidak mampu meneruskan keturunan dan mengembangkan cinta perkawinan. Tindakan hubungan seksual pada akhirnya merupakan ungkapan cinta dan penghargaan karena tindakan itu mampu menganugerahkan anak kepada kehidupan. Tindakan homoseksual sebaliknya menurut hakikatnya bukan merupakan ungkapan cinta seperti itu. Di dalamnya tak terpenuhi syarat yang memberikan kualitas tanda cinta pada tindakan seksual. Sementara itu, Katekismus Gereja Katolik (#2357), memberi arti homoseksualitas sebagai hubungan antara pria dan wanita yang merasa diri tertarik kepada orang sejenis kelamin. Hal ini dipandang sebagai penyelewengan karena kebaikan rencana Allah dan martabat luhur setiap manusia.

3.2 Gereja dan Persoalan Homoseksualitas
3.2.1 Kritikan Terhadap Gereja
Dalam ranah publik, pandangan Gereja seperti ini dinilai tidak sesuai kenyataan manusiawi pribadi tertentu. Perkembangan studi dalam bidang kesehatan dan psikoanalisis mempertegas bahwa tindakan homoseksual merupakan penyakit (discorder) yang mesti disembuhkan. Persoalan homoseksual pada akhirnya dipandang sebagai kenyataan yang sangat manusiawi, dan setiap orang bisa merasakan karena pengalaman dan lingkungan yang kondusif. Karena itu, ketika Gereja tetap konsisten dengan pandangan yang melihat tindakan homoseksual sebagai dosa, Gereja dinilai ‘lari’ dari kenyataan manusiawi setiap pribadi tertentu.
Kritikan paling tajam datang dari tubuh Gereja sendiri. Sebagian kecil imam Gereja Katolik Roma, termasuk beberapa pejabat Gereja seperti Uskup Jacques Gaillot dari Perancis, telah mengritik sikap Gereja ini. Ketidak-puasan atas sikap Gereja ini disalurkan ke dalam sikap penentangan langsung pada ajaran Katolik yang tak berubah mengenai seksualitas manusia.
Begitu pula dengan beberapa teolog secara tajam juga mengkritisi pernyataan Gereja mengenai homoseksualitas. Misalnya antara lain Profesor Charles Curran, seorang mantan imam Katolik Roma, yang sebagai akibatnya dicabut jabatan pengajarnya di Universitas Katolik Amerika. Curran beranggapan bahwa adalah sesuatu hal yang tidak tepat untuk menganalisa moralitas suatu tindakan dari sebuah cara pandang fisik. Curran juga berkomentar bahwa Kongregasi bagi doktrin Iman secara sistematis mencoba untuk membungkam para penulis yang juga kritis terhadap ajaran-ajaran Gereja tentang homoseksualitas. Demikianlah muncul berbagai macam kritikan terhadap pandang Gereja yang dinilai masih amat konvensional

3.2.2 Posisi Gereja Terhadap Berbagai Kritikan
Dalam suatu perayaan ekaristi di Valencia (2008), Paus Benedictus XVI selaku pemimpin umat Katolik Roma mengkritik pemerintah sosialis Zapatero yang melegalkan perkawinan homo. "Perkawinan itu tidak terlepaskan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”. Begitu pula dalam pesan menjelang Natal (2008), Paus menyampaikan bahwa hutan tropis harus diselamatkan dari kepunahan, sama pentingnya dengan menyelamatkan umat manusia dari perilaku homo dan transeksual. Kata-kata Paus Benediktus XVI ini menunjukkan masih kokohnya sikap Gereja terhadap persoalan homoseksualitas.
Lebih jauh lagi, setelah menduduki jabatan kepausan, salah satu keputusan yang lebih kotroversial dari Paus Benediktus XVI adalah keputusan Konggregasi Pendidikan Katolik yang melarang lebih jauh siapa saja yang memiliki kecenderungan-kecenderungan homoseksual yang mendalam saat ini atau mendukung apa yang disebut "kebudayaan gay", atau setiap individu yang memiliki "kecenderungan-kecenderungan" tersebut di masa tiga tahun terakhir, untuk masuk ke dalam seminari, dan, konsekwensinya, untuk bisa menjadi imam. Hal ini merupakan sebuah perubahan dari posisi tradisional Gereja yang menyatakan bahwa hanya perilaku homoseksual-lah yang berdosa, dan merupakan bukti dari fakta bahwa perubahan posisi resmi Gereja akan homoseksualitas semakin tidak akan terjadi saat ini. Dengan demikian Gereja masih tetap pada pendiriannya.
Gereja Katolik mempunyai pandangan yang berbeda terhadap kaum homoseks. Pertama, Gereja turut memberi perhatian kepada kaum homoseks karena faktor bawaan dan tidak mendakwanya sebagai kaum pendosa. Gereja tidak bisa mengelak bahwa ada pribadi-pribadi tertentu yang terlahir dengan kromosom lebih. Seorang manusia yang terlahir normal memiliki 46 kromosom, yakni gabungan dari 23 kromosom xx dan 23 kromosom xy. Tetapi ada pula yang memiliki kromosom lebih entah itu kromosom pria ataupun wanita sehingga ada laki-laki yang terlahir secara fisik sebagai laki-laki tetapi berkepribadian perempuan dan juga sebaliknya ada perempuan berkepribadian laki-laki. Berhadapan dengan kelompok ini, Gereja justeru menaruh sikap yang sangat positif bahkan menyeruhkan upaya perlindungan dan solusi untuk menghilangkan kecendrungan ini. Kedua, Gereja Katolik mengecam tindakan homoseksual karena faktor lingkungan. Kaum homoseks yang dipengaruhi faktor lingkungan dinilai tidak mampu mempertahankan kodrat awalnya ketika ia terlahir sebagai manusia normal tanpa kelebihan dan kekurangan kromosom.
Sebenarnya ada alasan mendasar dari Gereja menentang perkawinan homoseksual, yakni menjaga keutuhan identitas Gereja. Selain faktor reproduksi dan perwujudan cinta, perkawinan Gereja Katolik antara laki-laki dan perempuan melambangkan keutuhan Kristus dan mempelaiNya Gereja. Kristus dilambangkan sebagai mempelai laki-laki dan Gereja dilambangkan sebagai mempelai perempuan. Karena itu, melegalkan perkawinan homoseksual sama dengan identitas terdalam dari Gereja itu sendiri. Perkawina kristiani hendaknya meniru persatuan mesra antara Yesus Kristus dan mempelaiNya Gereja.

3.3 Catatan Kritis
Gereja dan umat Kristen perlu melihat perilaku homoseksual dalam perspektif yang lebih luas dan komprehensif, tidak sekedar melihat sebagai hak azasi manusia dan mengikuti apa yang diingaikan (wanted) pelaku homo, tetapi perlu melihat apa sebenarnya yang ‘dibutuhkan (needed) kaum homo itu. Kita sudah melihat bahwa homoseksualitas tidak berdiri sendiri di atas fundasi hak-hak azasi manusia tetapi merupakan lingkaran siklus tak berujung yang mencakup trauma kejiwaan, kecenderungan promiskuitas yang menyebabkan mereka cenderung berganti-ganti pasangan, perilaku yang membuka lebar akan tersebarnya penyakit psiko-sosial homo dan AIDS. Pertanyaanya adalah apakah Gereja membiarkan terjadinya resiko cinta situasi bila pasangan homo mengadopsi anak yang kelak ditulari perilaku demikian?
Gereja masih sangat ambigu menentukan sikap dan ketegasan mengenai kategori dosa terhadap kecendrungan homoseksualitas. Ada yang mengatakan bahwa kecendrungan homoseksual belum dikategorikan sebagai dosa, tetapi ada pula yang sudah melihat ini sebagai ketimpangan (misalnya pernyataan Paus Benediktus XVI terhadap Konggregasi pendidikan di atas). Begitu pula dengan kegiatan pastoral terhadap kaum homoseks, ada yang dianjurkan, tetapi ada pula yang dikecam dan dikritik sehingga pertanyaan lain pun muncul apakah homoseks adalah orang berdosa. Gereja juga sedapat mungkin sedikit keluar dari kekangan tafsiran Alkirab, dan masuk dalam persoalan kemanusiaan. Dalam arti bahwa pendasaran biblis pesoalan homosesksualiras bisa diketemukan dengan persoalan kemanusiawiaan sehingga alasan-alasan yang dikemukan tetap relevan dan kontekstual terhadap perkembangan jaman.

IV. Penutup
Homoseksualitas adalah fenomena yang lebih kerap terjadi daripada yang tak terduga banyak orang. Homoseksualitas adalah rasa tertarik yang tetap, dominan dan erotis terhadap sesama jenis kelamin. Gereja Katolik Roma menganggap perilaku seksual manusia sebagai sesuatu yang suci, karena perilaku seksual pada dasarnya ditujukan untuk suatu kesatuan dan penerusan keturunan (meniru kehidupan Trinitas pribadi Tuhan). Gereja juga memahami kebutuhan saling melengkapi antara jenis kelamin yang berbeda untuk menjadi bagian dalam rencana Allah, sama halnya dengan persatuan mesra antara Kristus dengan mempelaiNya Gereja. Dengan demikian, tindakan-tindakan seksual sesama jenis tidak sejalan dengan pola rancangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar