Rabu, 21 April 2010

Kartini, Ria Rago, dan Perempuan Kapitalis

*Ruke Woda
Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di wisma Arnoldus-Nitapleat

“Habis gelap terbitlah terang (Door duisternis tot Licht)”. Demikian judul buku yang diterbitkan dari kumpulan surat-surat RA Kartini semasa mudanya. Intinsari dari surat-suratnya tidak lain adalah seloroh panjang akan eksistensi perempuan yang selalu termarjinalisasi oleh sistim kultur yang tidak adil dan amat represif. Tinggal dalam sebuah kultur patriakat yang amat kental, membuat Ia berani membuka suara lantang dan dengan gagah berani mencetus sebuah babak baru dalam sejarah bangsa Indonesia yakni era kebangkitan perempuan.
Meskipun akhirnya Ia meninggal dalam usia yang amat muda (25 tahun) dan cita-citanya belum terwujud sepenuhnya, tetapi benih perjuangan akan kesamaan hal dan martabat bagi kaum hawa terus di perjuangkan. Kesadaran akan belenggu penindasan pun tersingkap. Sudah saatnya bagi kaum perempuan, untuk keluar dari kekangan budaya yang selalu mengkarantinakan mereka di balik dinding-dinding rumah dengan balutan kain kebaya di badan. Lahirlah berbagai perkumpulan perempuan, majalah, literatur sastra, serta film-film yang concerned memperjuangkan nasib perempuan.

Ria Rago
Dalam ranah lokal, perjuangan akan pembebasan determinasi terhadap kaum perempuan dilukiskan dalam sebuah film bisu (no-sound) berjudul Ria Rago (The Herione From The Ndona-Valley) yang diputar pertama kali pada bulan Desember tahun1930. Film ini diproduksi oleh Soverdi Ende dengan director kedua misionaris senior, Pater Simon Buis, SVD dan Pater Piet Beltjens, SVD.
Sebagaian besar generasi masa kini mungkin lupa atau bahkan tidak pernah tahu tentang film ini. Literatur sejarah perfilman Indonesia pun tidak mencantumkannya. Dari kronologi waktu, mestinya film ini, merupakan film kedua yang dibuat di Indonesia, setelah sebuah film bisu tahun 1926 di Bandung, yang berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Baru sesudahnya, pada tahun 1931 dari The Teng Chun lahir Bunga Roos.dari Tjikembang.
Film ini berkisah tentang perjuangan seorang gadis bernama Ria Rago terhadap belenggu kawin paksa. Ia adalah prototipe perempuan di wilayah kita pada masa lalu yang mengalamai kejamnya kebudayaannya sendiri. Harga seorang perempuan sama dengan seekor kerbau dan beberapa keping uang. Meskipun belis telah dibayar, ia tetap konsisten untuk tidak menerima lamaran pernikahan dengan seorang laki-laki yang telah dijodohkan bernama Hadji Dasa. Ia akhirnya berhasil kabur dari rumah dalam keadaan sakit parah, dan meninggal dunia di sebuah biara susteran.
Tanpa berpretensi mengulas film ini secara mendetail, penulis terobsesi untuk melihat kenyataan masa lalu di balik film ini. Bagaimanapun film hanyalah produk yang diangkat dari sebuah realitas. Pertanyaan pun muncul, apakah belenggu penindasan perempuan pada masa lalu itu masih dirasakan oleh kaum perempuan saat ini?


Perempuan Kapitalis
Cora Vreede-de Stuers, dalam bukunya Sejarah perempuan Indonesia (Terj. 2008), melukiskan dua era yang memberi tanda nyata perkembangan perempuan yang berbeda dalam sejarah panjang perjuangan perempuan. Pertama, feodalisme kolonial. Masa Kartini menunjukkan semua tanda nyata dari feodalisme kolonial ini. Perempuan dalam era ini umumnya menjadi pelayan yang berjongkok di hadapan majikannya, yang pada gilirannya tunduk pada atasan Belanda. Kedua, era kapitalis. Pengaruh kapitalisme membuat masyarakat banyak berubah. Kelas baru masyarakat Indonesia mulai bersaing dengan para pedagang dari Tionghoa yang telah menetap di Indonesia. Kelas baru ini mulai bersaing dalam pengakuan sosial dengan kelas ningrat pribumi.
Perempuan yang tinggal pada masa feodalisme kolonial, tentu mempunyai karakater dan pembawaannya sendiri. Kartini, misalnya, mengisahkan gadis-gadis kecil pada masanya yang terlihat seperti perempuan dewasa kecil dalam kain yang menutupi pergelangan kaki dengan kebaya. Ini tentunya berbeda dengan model perempuan pengaruh kapitalisme. Annie Romein-Verschoor, seorang penulis Belanda yang telah mengenal baik Indonesia di masa terdahulu menulis: “Sesuatu yangmembuat seseorang tersentak sekarang adalah sekumpulan siswi, berjalan atau bersepeda, kepang menggantung di pundaknya, dan kaki panjangnya tampak di bawah rok”.
Tipikal perempuan sekarang sudah tentu tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme. Rambut di-rebounding agar kelihatan lebih lurus. Rok hanya dipakai dalam situasi formal (di sekolah), selebihnya adalah celana panjang ketat dengan baju yang memperlihatkan lekukan tubuh. Lebih ironis lagi, banyak dari kaum perempuan yang masakini yang terjerumus dalam narkoba, seks bebas, dan pelbagai aksi kekerasan. Inilah situasi kaum perempuan masa kini, yang katanya ‘ketinggalan jaman’ jika mesti berbusana kebaya seperti Kartini, atau lawo-lambu (sarung-baju) seperti yang dikenakan Ria Rago.
Kartini tentu mempunyai cita-cita besar untuk kaumnya di masa yang akan datang. Apakah wajah generasi perempuan sekarang masuk dalam kategori yang dicita-citakannya. Entahlah, tentu saja generasi yang diimpikannya adalah generasi yang bebas dari segala macam bentuk kekangan budaya dan perilaku represif yang menjadikan perempuan sebagai orang yang dinomor-berikutkan. Selamat merayakan hari Kartini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar