Senin, 08 Februari 2010

Totalitarisme Baru (Perihal Penarikan Buku Membongkar Gurita Cikeas)

Rukhe Alw.Woda

Beberapa hari belakangan ini, berbagai media ceat dan elektronik ‘ramai’ menurunkan berita seputar rencana penarikan buku Membongkar Gurita Cikeas (selanjutnya MGC) karya George Yunus Adijtondro (selanjutnya GYA). Sejak dilakukan pralauncing pada hari Rabu (23/12/2009) di Yogyakarta oleh penulisnya, buku tersebut menuai berbagai macam aksi protes. Salah satu hal yang dibicarakan George Junus Aditjondro adalah peranan berbagai yayasan yang melibatkan keluarga presiden Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya SBY) dan teman-teman dekatnya. Sebut saja yayasan Mutu manikanm nusantara yang dibina istri SBY dengan Arthalita suryani alias Ayin sebagai bendaharanya. Yayasan ini adalah satu dari enam yayasan utama yang menjadi semacam pondasi Partai Demokrat dan SBY dalam Pemilu 2009 dan Pilpres 2009 (Bdk. Membongkar Gurita Cikeas (versi ebook), p.35-48). Banyak pihak angkat bicara, terutama mereka yang merasa tidak puas dengan isi buku tersebut. Alhasil, ketika buku baru dilakukan pralauncing, berbagai telpon gelap masuk ke pihak penerbit (Galang Press) yang mengintruksikan penarikan buku tersebut.
SBY sebagai pihak yang paling banyak disoroti dalam buku ini pun angkat bicara. Lewat juru bicara kepresidenan Julian Pasha, SBY menyatakan keprihatinan dengan data-data yang disajikan dalam buku tersebut yang dinilainya tidak benar dan mengandung fitnah. Presisden memang belum memberi instruksi langsung untuk menarik buku ini. Tetapi ini kata petinggi Negara. Imbasnya, sampai dengan sekarang ini, buku yang sedianya akan diluncurkan awal Januari belum jelas nasibnya. Pihak kejaksaan agung masih terus menelitinya. Mengapa SBY dengan serta merta mengklaim bahwa isi buku tersebut mengandung fitnah? Apakah data-data di dalam tidak cukup menjelaskan keterlibatan keluarga Cikeas? Di sini saya tidak bermaksud mengupas substansi dari buku tersebut tetapi lebih membatasi diri pada perihal penarikan buku tersebut dari peredarannya. Mungkinkah ini justifikasi dari rumor yang beredar bahwa totalitarisme kini sedang beralih ke kelurga Cikeas?
Totalitarisme seturut definisi kamus besar bahasa Indonesia adalah penguasaan yang permanen dan total terhadap keseluruhan kehidupan sosial oleh pemerintah atau penguasa. Negara dan penguasalah yang paling tinggi martabatnya dan segala kepentingan negara dan penguasa harus diutamakan dari pada kepentingan golongan atau kelompok. Di dalam Negara totalitarisme tidak ada kata perbedaan. Semuanya bersatu dalam homogenitas. Contoh yang paling mengerikan adalah totalitarisme Negara Jerman di bawah pimpinan Hitler. Jutaan warga keturunan yahudi ditembak mati. Tidak ada biro kritik untuk para penguasa. Kebebasan untuk berpendapat dan berdialog dikekang sedemikian rupa.
Seorang filsuf banyak berbicara tentang totalitarisme adalah Hannah Arendt, seorang wanita keturunan Yahudi. Ia berpendapat bahwa masyarakat moderen terdiri dari individu-individu yang khas dan unik. Kekhasan tersebut menjadi elemen dan dasar bangunan pluralisme sosial dan politis. Sebuah bangunan yang kaya akan nilai-nilai kolektif dan bisa dijadikan pegangan dalam sebuah tatanan hidup bersama. Monolak pluralisme berarti membangun homogenitas dan akhirnya melahirkan totalitarisme.
Saya mengajak kita untuk kembali membuka memori masa lalukita. Totalitarisme sebenarnya meraja lela di Negara kita pada masa orde baru dengan keluarga cendana sebagai pawangnya. Cendana yang merupakan nama tempat menjadi basih kekuasaan yang totaliter dalam beberapa dekade terakhir ini. Dari Cendana coba kita palingkan kepala menuju Cikeas. Apa yang terjadi dengan keluarga Cikeas belakangan ini? Kita coba perbandingan antara keluarga Cendana dan keluarga Cikeas.
Cikeas memang bukan Cendana. Cikeas terletak di pinggiran sebuah Kabupaten yang dulunya dikenali sebagai kota hujan di Jawa barat. Sedangkan Cendana adalah sebuah jalan di kawasan elite yang terletak di Ibukota Negara dan dikenali sebagai kawasan tempat tinggal beberapa orang pejabat negara, pengusaha kelas kakap, politisi ulung negeri ini, dan yang serupa dengan itu. Walaupun letaknya berjauhan, namun kedua tempat tersebut benar-benar memiliki catatan sejarah yang unik bila hal itu kita kaitkan dengan 'pusat rumah tangga" kekuasaan. Cendana dikenali sebagai "tempat istirahat" nya Presiden Soeharto setelah berkutat dengan tugas kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan yang harus dijalani, sedangkan Cikeas merupakan "tempat merenungnya" Presiden SBY setelah sekian waktu bekerja keras di Istana Kepresidenan.
Cendana dan Cikeas, acapkali menjadi "simbol kekuasaan" yang tentu saja hanya kalangan tertentu saja yang boleh masuk dan bertamu kedua tempat tersebut. Yang pasti, setiap orang yang "diundang" ke Cikeas, biasanya merupakan orang-orang pilihan dan tercatat bakal mengemban tugas penting dalam perkembangan dan perjalanan sejarah bangsa. Contoh konkrit nya adalah ketika calon-calon Menteri akan "diuji", maka Cikeas itulah yang menjadi saksi proses pengujian dijalankan. Dengan demikian, bisa jadi kabinet Indonesia Bersatu baik jilid 1 ataupun jilid 2 adalah produk alsi Cikeas.
Cendana adalah satu kata yang penuh dengan sejarah gelap di baliknya. Di sana ada menara kekuasaan yang sangat otoriter. Kekuasaan tidak mengenal kebebasan berekspresi, apalagi berpendapat. Kata kritik tidak ada dalam kamus penguasa Cendana, apalagi kritik pemerintah dan penguasa. Kritik identik dengan ditahan atau dipenjarakan. Tokoh-tokoh seperti Budiman Sujatmiko, Iwan Fals, dkk adalah tokoh-tokoh yang lama mendekap di penjara. Semasa hidupnya mereka terus menjadi buronan pemerintah hanya karena menjadi oposisi dari pemerintah dengan mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang. Padahal dalam pasal 28 UUD 1945 tertera dengan sangat jelas bahwa negara menjamin kebebasan berpendapat bagi warganya baik secara lisan maupun tulisan.
Hal yang sama kini seakan sedang terulang lagi. Mereka yang tergabung dalam keluarga Cikeas mengutuk keras isi buku tersebut. Mereka menuntut buku tersebut ditarik dari peredarannya. Sampai dengan saat ini buku tersebut masih diselidiki oleh pihak Kejaksaan Agung. Tetapi apabila benar buku tersebut ditarik dan dilarang terbit, bukan ini mengindikasikan sebuah menara kekuasaan baru yang totaliter dan defensif terhadap beragai macam kritikan telah di bangun di Cikeas. Memori lama akan kejamnya kekuasaan orde baru dengan cendana sebagai basisnya kini seakan terulang lagi. Semua pembaca tidak mungkin bodoh untuk tidak mengambil sikap selektif terhadap isi buku tersebut. Pembaca tentu tidak percaya begitu saja. Berbagai aksi protes dari keluarga Cikeas tentu menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal budaya kritik, atau mengenalnya tapi pura-pura tidak mengenalnya. Tidak sadarkah mereka bahwa Negara kita sesuai dengan undang-undang adalah Negara demokrasi yang di dalamnya masyarakat bebas berekspresi dan berpendapat. Bukankah ini menujukkan totalitarisme baru dalam keluarga Cikeas.
Kasus penarikan buku Gurita Cikeas menjadi salah satu contoh praktik totalitaris. Kebebasan berpendapat dan mengajukan kritik dibatasi. Hemat saya, di sini terdapat dua indikasi yang memperliahatkan kasus penarikan buku ini masuk dalam ranah totalitarisme. Pertama, sikap anti kritik dari pihak pemerintah. Pemerintah dan para penguasa kita tidak suka dikritik. Kritikan dilihat dipandang sebagai hal yang mengganggu stabilitas negara, menghambat kebijakan-kebijakan pemerintah. Karena itu pemerintah melalui lembaga-lembaga legal mengatur sedikian rupa agar gema kritikan tidak menggelegar begitu saja. Salah satu cara adalah dengan menutup ruang kebebasan untuk berpendapat. Jerman di beberapa dekade silam menjadi contoh nyata adanya totalitarisme model ini. Berbagai penulis dan filsuf yang beroposisi dengan pemerintah akhirnya ditangkap, dan sebagaian melarikan diri ke Perancis dan Amerika Serikat.
Kedua, adanya sikap tebang pilih dari pemerintah. Dalam mengambil sebuah tindakan dan kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif dan melihat-lihat “siapa dulu orangnya”. Jika dia adalah pihak kerabat, kolega, ataupun orang-orang maka ia akan diperlakukan secara khusus. Ada pilih kasih, “ini pihak kami” dan “itu pihak kamu”. Sebagai contoh Si ratu suap Artalyta alias Ayin mendapat perlakuan yang sangat istimewah dari tahanan lain dengan fasilitas dan sarana yang lengkap dalam penjara. Atau juga Samsul Nursalim, pengempang dana BLBI, yang mempunyai kedekatan dengan bu Ayin hingga kini masih melenggang bebas. Contoh lain, pada tanggal 6 Januari 2010 sebuah buku tandingan dengan judul “Hanya Fitnah dan Sensasi, George Revisi Buku” diluncurkan. Tidak ada pencekalan atau bahkan penarikan, karena semestinya pihak kejaksaan agung layak memeriksa buku tersebut sebagai bahan perbandingan. Tetapi sekali lagi, ini dari kubu para penguasa. Jadi tidak kata penarikan. Ini menjadi sebuah bentuk totalitarisme, yang lebih melihat orang-orang kalangan sendiri ketimbang masyarakat plural, apalagi masyarakat oposisi.

Komunikasi di Ruang Publik
Hannah Arendt pada tahun 1958 menerbitkan sebuah karya berjudul Vita activa oder vom taetigen Leben. Dalam karyanya ini ia menjelaskan bahwa politik yang baik adalah politik yang terejawantah dalam diskusi dan perbincangan di ruang publik, yang disebutnya sebagai ”ruang antara” (Zwischenraeume). Di dalamnya terjadi sebuah dialog terbuka yang memungkinkan sebuah dunia bersama terbentuk. Diskursus menjadi hal yang amat urgen karena mampu menciptaka sebuah dunia bersama tanpa totalitarisme dari pihak penguasa.
Fenomena penarikan buku ini bisa jadi adalah sebuah bentuk penyangkalan terhadap pluralitas dal kehidupan berpolitik. Pluralitas dilihat sebagai rongrongan untuk membangun menara kekuasaan. Padahal kehidupan bersama mesti mengadaikan suatu pluralitas bukan homogenitas. Menarik buku membingkar gurita cikeas berarti membangun kultur politik ke arah totalitarisme. Buku MGC bukan satu-satunya buku yang ditarik dari peredaran, tetapi masih banyak lagi buku lain yang mempnyai nasib yang sama. Adalah yang yan sanat positif jika pemerintah bertindak bijak, melihatnya sebagai sebauah kritikan bukan sebaliknya sebagai fitnah. Jika kita menghargai kebebasan masing-masing individu untuk berpendapat, cara terbaik yan gkita lakukan adalah dengan membuat buku tandingan atau pun beropini secara fair. Buku MGC menjadi buku yang mata pentin guntuk member gambaran tentang praktik skandal yang terjadi di Negara kita. Lihat saja ke-50 tim pansus century bahkan telah memesannya untuk keperluan pansus. Dan itu ternyata sangat membantumereka.
Akhir kata, Hanah Arendt pernah menulis, seperti yang dikutip dalam makalah kuliah pilihan Hannah Arendt, ”Tindakan membutuhkan pluralitas, di mana semua sama yakni manusia, namun atas cara masing-masing manusia-manusia tersebut tidak persis sama satu sama lain, baik yang pernah hidup dan masih hidup maupun yang akan hidup.” Hidup bersama menurutnya hanya mungkin kalau manusia menjalin komunikasi bersama. Dan sebuah Negara plural seperti Indonesia ini mestinya membangun kultur politiknya berakarkan kehidupan plural, bukan sebaliknya mengekang kebebesan orang untuk berekspresi dan berpendapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar