Senin, 08 Februari 2010

Beberapa Ungkapan Adat Lio Tentang Etika Lingkungan Hidup

Rukhe woda,dkk

1. Ulu eko. Ulu diga eko bina. Pere sare one pawe. Kelestarian lingkungan, pangkal dan ujung
harus bersih, luar dan dalam harus indah.

Ungkapan adat ini merupakan suatu ungkapan yang ada di daerah Lio. Ungkapan ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Nenek moyang menggunakan ungkapan ini pada saat-saat atau situasi tertentu, teristimewa ketika masyarakat sudah kurang menjaga kelestarian lingkungan, dalam hal ini kurang menjaga kebersihan lingkungan hidup bersama. Jadi ungkapan ini lebih pada suatu seruan untuk selalu menjaga kebersihan dan keapikan lingkungan hidup. Jika diperhatikan, dalam ungkapan di atas tedapat dua istilah yang sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Lio pada zaman dahulu. Kedua istilah tersebut ialah ulu dan eko. Kata ulu-eko merupakan suatu istilah yang selalu dipakai secara bersama-sama. Jika diterjemahkan secara harafiah, kata ulu berarti pangkal dan eko berarti ujung. Namun demikian, istilah ini merupakan istilah yang dipakai untuk menyatakan keseluruhan, mencakupi seluruh wilayah. Jadi ulu diga eko bina maksudnya bahwa kelestarian lingkungan, kebersihan harus dilakukan di seluruh wilayah masyarakat tanpa terkecuali. Seruan ini hendak menyadarkan masyarakat agar senantiasa mencintai dan menghargai kebersihan lingkungan hidup tempat tinggalnya. Dalam konteks masyarakat zaman dahulu, ungkapan ini lebih pada suatu ajakan moral untuk secara bersama-sama memelihara lingkungan hidup agar tetap bersih, indah nyaman. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa upaya dalam menjaga ataupun melestarikan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sekelompok orang saja, melainkan manjadi kewajiban semua anggota masyarakat. Seluruh komponen masyarakat dari ulu sampai eko bertanggung jawab atas kelestarian lingkungan hidup tempat tinggalnya.
Dalam kehidupan sekarang ini, ungkapan ulu diga eko bina masih terasa relevan bagi masyarakat Lio dan masyarakat luas pada umumnya. Upaya dalam melestarikan lingkungan hendaknya menjadi tanggung jawab kita semua, bukannya menjadi tanggungan sekelompok orang saja. Ulu diga eko bina hendak mengajak kita semua agar turut bertanggung jawab terhadap segala hal, teristimewa yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Kebersihan, keapikan lingkungan bukan hanya terjadi secara partikular melainkan secara menyeluruh. Artinya, harus terjadi dan mencakupi seluruh bagian dan komponen dalam masyarakat. Dengan demikian, lingkungan tempat tinggal kita bisa menjadi tempat tinggal yang paling nyaman dan bersahabat. Kita bisa hidup sehat dan terhindar dari segala macam penyakit.
Ulu diga eko bina menjadi suatu seruan yang selalu menggema bagi semua orang, apalagi bagi kita yang hidup pada zaman sekarang ini. Kita yang hidup pada masa di mana rasa memiliki dan mencintai kebersihan lingkungan sudah semakin menurun. Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa memelihara kebersihan lingkungan hidup bukan lagi menjadi tanggung jawab bersama, melainkan hanya kewajiban dari sekelompok orang saja. Ulu diga eko bina hendaknya menjadi suatu seruan yang sangat berarti bagi kita untuk senantiasa menghargai, mencintai kebersihan lingkungan hidup kita. Dengannya kita diharapkan menjadi agen yang senantiasa menjadi yang pertama dalam mencintai dan memelihara lingkungan hidup kita. Dengan demikian, lingkungan kita menjadi rumah yang paling nyaman bagi kita semua.



2. Nebo dau deka leka deko, eo raki dau ngoa rasi, we’e diga ngere nenu mai Sina, bara ngere bha jawa. Sampah harus dibuang pada tempatnya, kotoran harus dicuci bersih agar mengkilap seperti cermin dari Cina, putih seperti piring dari Jawa.
Pepatah ini berbicara tentang kebersihan dan keindahan lingkungan. Orang harus menjaga lingkungannya agar tetap bersih dan terawat. Semuanya ini mengarah kepada apa yang disebut dengan keindahan. Nenu mai Sina dan bha Jawa melambangkan keindahan yang tak terkira.
Dewasa ini banyak program yang dibuat baik oleh pemerintah, maupun lembaga-lembaga swasta untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan indah. Slogan-slogan tentang kebersihan seperti “jagalah kebersihan” atau “buanglah sampah pada tempatnya” atau juga “wujudkan kota Ende yang BERSERI(bersih, sehat, elok, rapi, indah)” pun dipasang di jalan-jalan untuk mengajak warganya menjaga dan memperhatikan kebersihan dan keindahan lingkungannya.Untuk mencapai keindahan lingkungan orang harus menjaga kebersihan misalnya dalam pepatah di atas dengan membuang sampah pada tempatnya. Ini hanya merupakan satu contoh kecil namun sangat bermanfaat. Adalah tugas kita semua untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dan terlihat indah. Dan hal ini tidak saja berdampak pada keindahan yang kita alami tetapi lebih dari itu akan membuat lingkungan kita tetap lestari.
3. Powo sai kopo tena sai kasa, we’e nua mo’o tua keka mo’o maku. Pagarilah kampung dan halaman agar aman dan sejahtera.
Masyarakat Lio menganggap bahwa tanah dan kampung halaman mereka adalah warisan leluhur yang harus dijaga. Dalam kepercayaan mereka, jika orang-orang tidak menjaga tanah dan kampung halaman mereka, maka nenek moyang marah dan ini berarti bahwa kampung halaman akan mendapat bencana, sehingga masyarakat hidup susah dan tidak aman. Namun hal ini tidak berarti bahwa tanah tersebut dijaga layaknya harta karun yang hanya disimpan dalam brankas. Tanah tersebut dijaga dalam arti bahwa tanah tersebut diolah dan dikerjakan sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga bagi anak-cucu, serta membuat tanahitu tetap lestari.
Dalam konteks sekarang, orang tidak boleh menjual tanah kepada orang lain. Orang harus menjaga tanah warisan nenek moyang. Banyak tanah yang sekarang menjadi tidak jelas siapa pemiliknya. Alhasil, konflik dan sengketa yang terjadi akibat perebutan tanah tidak dapat dielakkan. Bayangkan hanya karena tanah, orang saling mngancam, mengintimidasi, hidup dalam kecemasan, dan paling buruk orang saling membunuh. Selain itu, sekarang ini kita dengar adanya tambang yang mengambil lokasi di tanah masyarakat. Penolakan terhadap tambang merupakan salah satu perwujudan dari usaha orang untuk menjaga tanah milik mereka. Penolakan tambang merupakan salah satu aplikasi nyata pepatah ini dalam kehidupan dewasa ini.
4. Kaju aje ma’e poka pate, we’e ule age ma’e rembu sawe. Jagalah hutan agar hewan di dalamnya tetap lestari.
Ungkapan ini menunjukkan keyakinan orang Lio akan adanya kehidupan dalam sebuah hutan, baik hutan yang sempit/kecil maupun hutan yang besar/luas. Hutan menjadi sebuah tempat kehidupan,atau yang disebut habitat, yang mana didalamnya mahkluk ada dan hidup. Posisi hutan seperti lingkungan tempat manusia (orang Lio) tinggal dan hidup menetap, bernafas, bergerak, bertindak, beraktivitas, berproduksi, meneruskan keturunan, dan segala kegiatan manusia lainnya.
Masyarakat Lio meyakini, sebagai tempat tinggal, hutan adalah tempatnya hewan-hewan baik hewan besar maupun hewan kecil. Di dalam hutan, hewan-hewan hidup, bernafas, bergerak, beraktivitas, meneruskan keturunan dan sebagainya. Seperti manusia (orang Lio) menikmati hidupnya ketika berada dalam lingkungan tempat tinggalnya, demkian pulalah hewan-hewan diyakini menikmati hidupnya ketika berada dalam hutan sebagai lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, seperti lingkungan tempat tinggal manusia (orang Lio) sangat dijaga agar bisa hidup nyaman, demkian pulalah hutan hendaknya dijaga agar tetap menjadi tempat hidup yang nyaman bagi hewan-hewan.
Lebih dari itu, orang Lio sangat menghargai,menghormati hewan-hewan sebagai mahkluk ciptaan Dua Ngga’e yang diciptakan untuk hidup berdampingan dengan manusia. Hewan memiliki keistimewaan tersendiri sebagai mahkluk ciptaan sehingga bisa membantu dan menolong manusia. Agar bisa hidup berdampingan dengan baik, saling membantu dan menolong, masing-masing pihak harus saling menghargai dan menjaga, diantaranya saling menjaga tempat hidup masing-masing.
Maksud ungkapan ini masih relevan sampai saat ini. Tidak hanya orang Lio, tetapi semua kita, dari segala suku dan daerah, tetap meyakini bahwa di dalam hutan, baik hutan yang luas mapun yang sempit, ada sebuah kehidupan. Di samping mahkluk hidup yang lain, kita meyakini hutan merupakan habitus hewan-hewan yang didalamnya hewan-hewan hidup, bernafas, bergerak, beraktivitas dan meneruskan keturunanya.
Ungkapan imperatif ini menunjukkan pada kita akan pentingnya hutan bagi kehidupan khususnya kehidupan hewan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila berbagai program dan usaha direncanakan dan dijalankan demi menjaga hutan dan sekaligus menjadikanaya sebagai habitus yang nyaman bagi hewan-hewan. Beberapa usaha diantaranaya ialah :
a. demi menjaga hutan agar menjadi tempat hunian hewan yang layak, dirancang dan disusun pula undang-undang (UU) perlindungan hutan, UU yang melarang penebangan liar pohon, UU yang melarang penembakan liar dan sebagainya.
b.program suaka margasatwa. Suaka margasatwa memang dimaksudkan untuk melestarikan hewan-hewan agar tidak punah, namun demi mencapai maksud itu, usaha yang dilakukan tidak lain adalah mengkondisikan hutan sedemkian rupa dan menjaganya agar menjadi tempat huni yang layak dan nyaman. Dua contoh usaha ini yakni : Suaka marga satwa yang terkenal yaitu Suaka margasatwa di pulau Komodo yang melindungi dan melestarikan komodo serta wilayah Tenau dan Kelapa Lima di Kupang yang menjadi habitat kera yang mana di sepanjang tepi wilayah ini (khususnya wilayah Tenau) telah dipagari dan pohon-pohon serta gua-gua kecil dijaga agar kera bisa tinggal dengan nyaman dan tidak terganggu.
Peristiwa Harimau yang menyerang pemukiman warga di Sumatera, sebagaimana dimuat dalam harian KOMPAS, menyadarkan kita akan kesalahan yang kita buat terhadap hutan sebagai tempat tinggalnya. Keserakahan manusia yang menyebabkan penebangan liar pohon-pohon telah merusak hutan dan mengganggu kententeraman hidup hewan di dalamnya. Oleh karena itu, penyerangan harimau tersebut mau menyadarkan kita agar kta mampu mengendalikan diri kita dan tidak menjadikan hutan sebagai pemenuh nafsu dan keinginan kita semata dan mengabaikan mahkluk-mahkluk hidup lainnya.
5. Ki kapa ma’e jengi, kuru tu’u ma’e dutu ola mbura nora sa gili ola.
Jangan membakar alang-alang dan rumput kering karena dapat menimbulkan kebakaran di mana-mana.
Pandangan hidup sekelompok masyarakat sangat mempengaruhi pola tingkah laku hidup bersama dalam kesehariannya. Demikian pun halnya terjadi pada masyarakat Lio. Di dalam masyarakat Lio terdapat suatu pandangan hidup yang mengajarkan bahwa lingkungan sekitar tempat tinggal manusia memiliki suatu roh atau kekuatan supranatural. Kekuatan tersebut bisa menghancurkan bila manusia tidak menghargainya atau tidak memperlakukan lingkungan secara baik. Terdapat juga suatu kepercayaan yakni di dalam kayu, batu, air dan lain sebagainya terdapat suatu kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Untuk itu, manusia mesti memperlakukannya secara baik. Jika tidak maka manusia sendirilah yang menanggung akibatnya, biasanya berupa penderitaan ataupun musibah. Ki kapa ma’e jengi, kuru tu’u ma’e dutu, ola mbura nora sa gili ola sebenarnya lebih merupakan aplikasi dari pandangan hidup tersebut. Hutan dan segala isinya tidak boleh dibakar secara liar karena akan mengganggu ketenangan para penghuninya yakni berupa roh-roh yang memiliki kekuatan luar biasa. Secara praktis dapat dipahami bahwa perbuatan tersebut dapat merusak lingkungan dan juga segala hewan yang ada di dalamnya. Dalam kehidupan harian masyarakat Lio pada masa itu, pembakaran hutan menjadi salah satu alternatif untuk membuka suatu lahan pertanian yang baru. Ada sekelompok orang yang lebih memilih cara ini karena mudah dilakukan dan kurang menguras banyak tenaga. Ungkapan ini mau mengajak masyarakat seluruhnya untuk memelihara hutan dan segala isinya. Ki kapa ma’e jengi, kuru tu’u ma’e dutu, ola mbura nora sa gili ola lebih merupakan suatu ajakan praktis bagi segenap masyarakat untuk tidak secara sembarangan membakar hutan dengan segala isinya. Alasannya yaitu dapat merusak, mengganggu keharmonisan dengan roh-roh dan juga dengan lingkungan itu sendiri. Sebaliknya, semua pihak diajak untuk senantiasa menjaga keharmonisan dengan lingkungan sekitar, dalam hal ini dengan hutan dan segala isinya. Dengan itu, alam sekitar juga akan bersahabat dengan mereka.
Ungkapan di atas terasa masih sangat relevan bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini. Ada begitu banyak kenyataan yang melukiskan betapa kita kurang menghargai hutan. Hutan menjadi lahan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mempedulikan bagaimana keadaan hutan tersebut. Ada begitu banyak peristiwa pembakaran hutan, pembabatan hutan secara liar, sehingga lahan menjadi gundul, banyak hewan yang mati. Akibat lanjutnya tentu merugikan manusia sendiri. Pembakaran ataupun pembabatan hutan secara liar itu menyebabkan tanah menjadi gundul. Dengan demikian, akan pada musim hujan akan terjadi banjir, panas global kini sudah mulai nampak, semuanya bermuara pada penderitaan manusia itu sendiri. Seruan ki kapa ma’e jengi, kuru tu’u ma’e dutu, ola mbura nora sa gili ola menjadi seruan yang sangat relevan dengan keadaan kita sekarang ini. Perlu diperhatikan bahwa konsep bahwa hutan memiliki kekuatan yang maha dahsyat mungkin sudah kurang relevan dengan kita. Konsep dan pemahaman kita tentang alam sudah jauh lebih maju bila dibandingkan dengan konsep alam yang memiliki kekuatan supranatural itu. Namun demikian, perlu kita sadari dan menjadi bahan pelajaran serta refleksi bagi kita ialah bahwa hutan dan segala isinya merupakan bagian yang tidak bisa kita lepas-pisahkan dari hidup kita. Dengan merusak hutan berarti kita juga sebenarnya telah merusak hidup kita sendiri. Penggunaan serta pemanfaatan hutan bagi kehidupan sebenarnya tidak dilarang, yang menjadi perhatian ialah bagaimana upaya kita untuk menggunakan hutan dan segala isinya itu secara bertanggung jawab. Kita tidak hanya tahu untuk memanfaatkan hutan, tetapi lebih dari itu kita bisa menunjukkan tanggung jawab kita dengan menanam pohon, memelihara hutan dan lain sebagainya. Konsep dan pemahaman tentang hutan dalam masyarakat Lio pada zaman dahulu memang sangatlah sederhana, namun demikian dalam keserhanaan pemahaman itu, mereka sangat menghargai hutan dan segala isinya. Konsep dan pemahaman kita tentang hutan sudah jauh melebihinya. Oleh karena itu, kita mesti mempunyai suatu sikap yang lebih dalam pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup terutama hutan dan segala isinya yang ada di sekitar tempat tinggal kita.

6. Poka toa ma’e tau ngura luja, titi oto ma’e tiko mbotu wolo, ta’u kora bere tiko bege, melo mbebho tiko ela. Jangan menebang hutan sembarangan, jangan membuka ladang di bukit dan di lembah karena dapat menyebabkan erosi dan tanah longsor di mana-mana.
Seperti halnya di berbagai daerah lain, orang Lio pun mempunyai berbagai petuah dan larangan tengan lingkungan alam. Hal ini terutama terjadi karena adanya kenyataan bencana alam yang terjadi karena kelalaian manusia. Bencana alam itu umumnya disebabkan oleh keserakahan manusia, semisal menebang atau pun membakar hutan. Rupanya pemahaman tentang pentingnya kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan sudah tertanam dalam budaya Lio. Ungkapan Poka toa ma’e tau ngura luja, titi oto ma’e tiko mbotu wolo, ta’u kora bere tiko bege, melo mbebho tiko ela menjadi salah satu contoh konkrit adanya petuah imperatif untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Dengan demikian ungkapan ini sebenarnya bertolak dari kenyataan adanya bencana alam karena keserakahan manusia.
Poka toa mae tau ngura luja mempunyai arti harafianya potong dan tebang jangan sampai membuat pohon-pohon menjadi muda kembali. Kita dilarang untuk memotong dan menebang pohon sembarangan. Kata ‘muda kembali” sebenarnya mempunyai maksud bahwa karena pohon-pohon telah dipotong maka ia akan tumbuh sebagai pohon baru lagi yang tidak mempunyai daya kekuatan yang besar untuk menahan erosi atau tanah longsor. Titi oto ma’e tiko mbotu wolo mempunyai arti bahwa jangan membuka ladang di semua bukit dan hutan. Artinya bahwa bukit atau pun hutan tidak harus dijadikan sebagai ladang-ladang masyarakat. Akibatnya tertera dalam kalimat selanjutnya, yakni tau kora bere tiko bege, melo mbebho tiko ela yang berarti dapat menyebabkan erosi dan tanah longsor. Tau kora tiko bege terjemahan harafianya, dapat menyebabkan erosi tiap bedeng, sedangkan melo mbebho tiko ela artinya tanah longsor tiap lobang. Di wilayah Lio tengah (Wologai dan sekitarnya) kata melo mbebho mempunyai arti yang lebih dasyat. Pengertian ini mendekati arti kiamat. Bukan hanya tanah longsor tetapi tanah yang terpecah-pecah dan jatuh ke bawah. Suatu keadaan yang menggambarkan akhir dari sebuah dunia. Ancaman tentang adanya melo mbebho ini biasanya juga berlaku untuk etika pergaulan. Orang Lio mengutuk keras hubungan seksual dalam anggota keluarga sendiri (incest), hubungan seksual dengan binatang, atau pun hubungan sekssual dengan kerabat dekat.
Pengaruh dualisme ternyata cukup kuat. Ancaman tentang adanya melo mbebho ini berlaku juga untuk etika lingkungan hidup. Orang Lio mempunyai pandangan dualisme tentang wujud tertinggi Du’a gheta luluwula Ngga’e ghale wena tana. Tuhan penguasa langit tertinggi dan Allah penguasa bumi terdalam. Tuhan penguasa langit tertinggi adalah Allah laki-laki yang mempunyai kuasa yang besar sedangkan Allah penguasa bumi terdalam adalah Allah perempuan yang menjadi rahim untuk memberikan kesuburan (Paul Arndt, Dua Nggae: Wujud tertinggi dan upacara keagamaan Menurut Orang Lio, 2002). Karena itu jika tidak ingin bencana alam dan kelaparan datang menimpah kita hendaklah kita menghormatinya seperti seorang anak kepada ibunya. Kita semua hidup dari rahim bumi yang memberikan kesuburan.
Seruan untuk tidak menebang hutan sembarangan, jangan membuka ladang di bukit dan lembah adalah sebuah awasan kepada masyarakat agar tidak secara berlebihan mengolah tanah di bukit dan lembah untuk dijadikan ladang. Bukan berarti melarang sama sekali masyarakat untuk tidak membuka kebun atau ladang di bukit dan di lembah-lembah, karena toh yang biasa dijadikan ladang adalah bukit dan lembah. Ini semacam himbauan untuk tidak menebang pohon dan membuka ladang di bukit-bukit dan lembah-lembah secara berlebihan. Jangan samapi semua bukit dan lembah di tebang pohon-pohonmya untuk dijadikan ladang. Dalam mengolah ladang, entah itu di bukit atau pun di lembah hendaknya diperhatikan juga dengan keadaan alam dan lingkungan agar tidak terjadi erosi dan tanah longsor.

7. Gaga Bo’o Kewi Ae, Nuwa Kea Nuwa Kena, Keta Ngere Kobe, Ngga Ngere Leja
Ungkapan ini digunakan saat petani membuka ladang baru, sesudah dilaksanakan adat (tau nggua tana). Ada suatu kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Lio pada umumnya yaitu suatu upacara adat sebelum membuka ladang baru. Ini dimaksudkan agar tanah yang akan digarap nantinya akan memberikan hasil panen yang baik dan melimpah kepada para penggarapnya. Masyarakat Lio pada zaman dahulu sangat menghargai tanah ataupun lahan yang akan digarap, sehingga sebelum membuka lahan tersebut, mereka melakukan upacara khusus. Mereka juga yakin bahwa disana juga terdapat penghuni yang mendiami tanah sehingga mereka harus memberikan sesuatu kepada ‘makhluk yang mendiami’ tempat tersebut.
Ungkapan ini masih relevan dengan konteks sekarang, khususnya dalam bidang pertanian. Sebab, dibalik ungkapan ini ada suatu nasihat atau petuah kepada setiap masyarakat untuk


8. Kuru Ola Tu’u, Ngai Kamba Keso. Ae Ola Kebu, Ngai Wawi Lemo
Arti harafiah dari peribahasa ini adalah “Jagalah rerumputan agar jangan sampai kering karena diinjak kerbau dan air jangan sampai keruh karena injakkan babi”. Peribahasa ini merupakan himbauan bagi manusia untuk selalu menjaga lingkungan tetap hijau. Selain itu, ia juga mau menyadarkan manusia bahwa hewan peliharaan hendaknya jangan sampai menjadi perusak tanaman dan juga kebersihan air. Peribahasa ini muncul karena dilatarbelakangi oleh situasi saat itu di mana banyak tanaman yang rusak dan air yang menjadi keruh karena ulah hewan-hewan peliharaan. Hewan-hewan peliharaan yang dilepas begitu saja tanpa ada penjagaan dari pemiliknya dapat berpotensi merusak lingkungan. Peribahasa ini sebenarnya mau menekankan aspek tanggung jawab dari para pemilik hewan peliharaan. Melalui peribahasa ini, orang diharapkan untuk selalu menjaga hewan peliharaannya sehingga tidak mengganggu keseimbangan lingkungan.
Peribahasa ini kami rasakan masih sangat relevan dengan situasi krisis lingkungan saat ini. Aspek tanggung jawab di sini bukan lagi sekedar tanggung jawab untuk menjaga hewan-hewan peliharaan. Tanggung jawab yang dimaksudkan di sini mempunyai makna yang semakin meluas yaitu menyangkut tanggung jawab terhadap usaha pelestarian alam. Manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Aspek tanggung jawab nampak dalam usaha melestarikan alam, pembangunan yang berwawasan lingkungan, dan juga ketaatan pada hukum perlindungan lingkungan.
Kita bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan kita dari gangguan hewan-hewan peliharaan yang berpotensi merusak alam. Makna hewan di sini bukan lagi sekedar hewan dalam arti harafiah. Makna “hewan” dapat kita perluas lagi yaitu menyangkut orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kita menjaga hutan kita dari orang-orang yang melakukan penebangan dan pembakaran hutan secara tidak bertanggung jawab. Selain itu, kita bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dari kegiatan pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Saat ini kita dapat melihat berbagai usaha penambangan yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan. Oleh karena itu, kita diajak untuk menolak segala jenis usaha pembangunan termasuk pertambangan yang yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Pemanfaatan sumber-sumber daya alam harus diusahakan agar tidak merusak lingkungan hidup. Tanggung jawab manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan pada akhirnya berkaitan erat dengan tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan hidupnya sendiri.

4 komentar:

  1. Bagus Kae, jao minta copy....

    BalasHapus
  2. nice...
    kalau sejarah budaya adat lio yang mengajarkan kita bercocok tanam itu siapa namanya?? yang mengajarkan kita tarian lio siapaa namany??
    yang pertama mengajarkan kita tau sua sasa siapa namanya??
    terimakasi...hanya ingin mengetahui pencipta adat lio (namanya)

    BalasHapus
  3. Kalau lio saya rasa uda jelas sejarahnya.. tapi klw Ende Belum.. mulai dari nama ende aja masih dipertanyakan asal usulnya...

    BalasHapus
  4. Betting & Casino - WorRione
    It's all about 바카라 양방 사이트 wagering on the right casino table. We are looking to help you play the best casino table games on the Internet. We're looking

    BalasHapus