Senin, 08 Februari 2010

PANDANGAN TEOLOGI RASIONAL DAN KRISTOLOGI KEBANGKITAN WOLFHART PANNENBERG

Rukhe Woda

I. Awal Kata
Konsep tentang otoritas Allah dengan mendahului wahyu penyelamatan kepada umat dewasa ini mulai ditinggalkan. Allah seperti ini dinilai terlalu mendikte umat-Nya. Pandangan teologi seperti ini umumnya mendarah daging di masa-masa awal kontemporer karena pengaruh kedua teolog besar Rudolf Bultmann dan Karl Barth yang mengembangkan teologi sabda. Kedua teolog ini, baik Bultmann maupun Barth mengembang sebuah model teologi yang kuat dipengaruhi Zaman pencerahan serta menekankan tuntutan otoriter bagi manusia. Pandangan teologi seperti ni akhirnya membuat umat meresa tak berdaya dan terus terpenjara dalam sangkar kekuasaan otoriter tersebut.
Realitas seperti ini kemudian ditanggapi oleh Wolfhart Pannenberg yang mengembangkan model teologinya dengan bertitik tolak pada rasionalitas. Di sini Pannenberg ingin menawarkan sebuah model teologi yang dapat diverifikasi secara intersubjektif dan dapat dikontrol secara ilmiah. Menurutnya sebuah teologi yang menjejakkan kakinya di dunia seberang tidak akan mengenal situasi manusia. Untuk manusia dewasa ini, yang tak mau lagi percaya pada hal-hal mustahil dan hanya berlaku argumentasi yang kokoh.
Pandangan seperti ini juga merembes sampai pada pandangan kristologisnya. Kristologinya berkonsentrasi pada peristiwa kebangkitan Yesus. Dalam kebangkitan_nya orang akhirnya mengerti bahwa Dia adalah Alla. Ia juga menentang pandangan lama tentang Putra Allah yang merupakan pribadi kedua dalam trinitas sesuai dengan pandanga konsili Khalsedon. Karena itulah di sini kami coba menguaraikan pandangan woflhart Pannenberg tetnag teologi rationalitas dan kristologi kebangkitan.

II. Sekilas Tentang Wolhart Pannenberg
Teolog Wolfhart Pannenberg lahir di stettin, Polandia pada tahun 1928. Pannenberg dibaptiskan dalam Gereja Injili Lutheran, namun setelahnya itu praktis tidak mempunyai hubungan apapun dengan Gereja pada tahun-tahun awalnya. Ia bertumbuh dalam keluarga yang nonkristiani, sehingga iman kristen bukanlah hasil sosialisasi dalam keluarga, melainkan sebuah pengalaman pribadi. Pannenberg pernah bercerita, saat berumur 16 tahun, tepatnya pada tanggal 16 januari 1945 ketika dia sedang berjalan ke rumah sehabis kursus piano, tiba-tiba sebuah pengalaman sinar pada saat matahari terbenam, mendadak menerobos batas kesadarannya dan melampaui horisonnya. Beberapa bulan kemudian ia nyaris menjadi korban serangan bom amerika di Berlin. Pengalan awal ini menjadi titk balik kehidupan beliau selanjutnya.
Sejak tahun 1947 Panenberg belajar filsafat dan teologi, agar dapat mencari jawaban atas pertanyaan tentang arti hidup. Di asekian terpengaruh oleh Karl Barth dan memperoleh impuls yang memberinya orientasi- seperti Moltman- dari ekseget perjanjian lama Gerhard von Rad. Pannenberg membuat habilitasi untuk teologi sistematik di Universitas Heidelberg pada tahun 1955. Pada tahun 1958 ia diangkat menjadi profesor untuk bidang yang dikuasainya di sekolah tinggi Gerejawi di wuppertal, dan tahun 1961 dia berpeindah ke universitas Mainz. Sejak 1967 dia mengajar di universitas Munchen.
Selama hidupnya, Pannenberg menghasilkan beberapa karyanya. Berikut ini adalah beberapa buah dari pemikirannya dalam bidang teologi: Jesus: God and Man (1968), Theology and the Kingdom of God(1969), What Is Man?(1970), The Apostles' Creed in Light of Today's Question (1972), Faith and Reality (1977).

III. Pandangan Teologis Pannenberg
3.1 Teologi Rational
Pada tahun 1961 Pannenberg menerbitkan bukunya Offenbarung als Geschichte (wahyu sebagai sejarah), ia menjadi tokoh yang garib di tengah medan teologi yang diwarnai oleh teologi bultmann dan Barth. Kalau hendak mengkategorikan Pannenberg dalam kacamata sejarah teologi, orang dapat memasukkannya ke dalam “ortodoksi rasional“ yang merupakan teologi peralihan antara ortodoksi protentasisme kuno dan Zaman pencerahan pada abad ke 18. Bagi Ponnenberg agama Kristen dan jaman pencerahan, iman dan akal budi merupakan satu kesatuaan.
Dengan konsp iman rasional, Pannenberg tidak hanya melawan Bultmann tetapi juga melawan Barth. Ponnenberg menolak Barth dengan teologinya yang otoriter dan tanpa argumentasi. Tidak tinggal diam, Barth pun bereaksi keras terhadap Pannenberg. Bagi Barth Pannnenberg telah menghianati teologi. Dengan titik tolak rasional, Pannenberg ingin menawarkan sebuah teologi yang dapat diverifikasi secara intersubjektif dan dapat dikontrol secara ilmiah. Dialah teolog kontemporer pertama yang meninggalakan dilema teologis. Dalam dilema teologis yang lebih dahulu diandaikan adalah iman akan Allah.
Berlawanan dengan itu Pannenberg menandaskan, pendasaran semata pada wahyu seperti yang dikemukan Bultmann dan Barth, tidak lagi mampu meyakinkan manusia modern. Semua tuntutan wahyu otoriter secara prinsipil dapat dicurigai sebagai tuntutan-tuntutan yang mengenakan mantel kebesaran Allah pada semua pikiran manusiawi dan karya manusiawi. Sebuah teologi yang berpusat dan dimulai dari dunia seberang tak bakal mengenal situasi ini. Manusia dewasa ini hanya percaya pada orgumentasi yang kukuh.
Pannenberg merupakan teolog protestan yang paling memiliki pemikiran yang jelas dan tajam. Jasa utama Pannenberg adalah bahwa ia merehabilitasi akal budi dan rasionalitas dalam teologi protestan. Baginya, iman bukan loncatan buru-buru ke dalam irasionalitas, sebagaimana iman salah dimengerti oleh pihak di dalam gereja maupun di luar gereja, melainkan sebuah langkah rasional.

3.2 Pandangan tentang Kristologi Kebangkitan
3.2.1 Kristologi dari Bawah
Karya teologi Pannenberg yang terpenting adalah Yesus – Allah dan Manusia (1964). Karya ini menerangkan tentang dua cara mendekati Kristus, yakni kristologi dari atas, yang mendekati Kristus dari sisi keallahan-Nya (Anak Allah) sedangkan kristologi dari bawah, mencoba mendekati Kristus dengan terlebih dahulu menyelidiki kemanusiaan-Nya. Pannenberg menganggap pendekatan pertama tidak penting. Kristologi dari atas memiliki pra-anggapan keallahan Yesus. Pendekatan model ini mengakibatkan berkurangnya perhatian terhadap Yesus historis. Menurut Pannenberg hal ini disebabkan karena perhatian yang dipusatkan pada perdebatan mengenai bagaimana “kedua kodrat” ilahi dan manusia dapat dipersatukan dalam satu pribadi.
Pannenberg memperkenalkan sebuah kristologi dari bawah, karena setiap kristologi dari atas yang bertolak dari trinitas dan inkarnasi akan mengabaikan sejarah konkret Yesus dari Nasareh. Dalam kristologi dari atas keilahian Yesus diandaikan, padahal sebenarnya baru harus disimpulkan dan dimengerti lewat hidup dan nasibnya. Untuk menyimpulkan keilahian Yesus dan hidup dan nasibnya, Pannenberg bertolak dari klaim adanya wibawa istimewa yang terdapat pada Yesus dari Nazareth. Yesus tidak bertindak separti nabi yang berbicara atas nama Allah, melainkan dari mulutnya sendiri kita mendengar: “Aku berkata“. Yesus yakin bahwa sikap setiap manusia terhadap pribadi-Nya akan menentukan nasib definitif dari manusia yang bersangkutan. Tetapi sebelum paskah klaim merupakan klaim yang harus disahkan atau dibatalkan oleh Allah.
Baru dalam Kebangkitan, klaim istimewah Yesus sebelum pakah disahkan Allah. Maka peristiwa pembangkita Yesus mempunyai arti ganda: sebagai peristiwa eskatologis yan gmengantisipasi harapan apokaliptika akan kebangkitan orang ia merupakan pertnyataan diri Allah sebagai Allah. Dan sebagai peristiwa yang terjadi atas diri Yesus, ia mengesahkan klaim dari Yesus bahwa ia sungguh dalam hidup-Nya bertindak sebagai utusan Allah, atas nama Allah. Kesatuan dan hakiki Allah-manusia dalam diri Yesus berakar dalam kebangkitan, maka kemanusiaan Yesus bisa dihargai betul. Yesus sebelum paskah tidak perlu digambarkan sebagaiAllah. Penjelasan ini memperlihatkan, bagaimana kita dapat mengenal kesatuan Yesus dengan Allah belum menjawab pertanyaan tentang daya penyelamatan dari kemanusiaanNya itu.
Daya penyelamatan itu dapat kita temukan dalam tugas Yesus yang erat berhubungan dengan pribadi dan nasibNya. Tugas Yesus ialah memanggil manusia ke dalam kerajaan Allah yang sudah mulai berada dalam dunia lewat pribadinya. Keputusan manusia lewat pribadinya merupakan sebuah keputusan menyangkut keterbukaan manusia terhadap Allah sebagaimana diandaikan oleh realita kerajaan Allah. Keterarahan manusia kepada Allah sebagai inti hakikat manusia menjadi nyata dalam nasib Yesus sendiri, karena kebangkitan Yesus juga merupakan sebuah penyataan tentang manusia dan arti eksistensinya.
Dalam kebangkitan, hakikat dan keselamatan manusia nyata sebagai keterbukaan terhadap Allah yang mencapai kesempurnaan dalam sebuah hidup baru sesudah kebangkitan. Maka tugas Yesus disahkan oleh pribadiNya, perbuatan oleh nasibNya sendiri, panggilan ke dalam kerajaan Allah oleh kebangkitanNya sendiri. Dengan demikian arti sentral peristiwa pembangkitan menjadi jelas. Tidak hanya kebenaran tentang Allah, juga kebenaran tentang manusia menjadi nyata dalam peristiwa kebangkitan Yesus.

3.2.2 Hubungan antara Allah dan Manusia Yesus
Dalam menentukan hubungan antara Allah dan manusia Yesus, Pannenberg berusaha untuk menghindari kelemahan dan kesulitan yang dialami oleh segala kristologi yang memikirkan Yesus sebagai gabungan dua kodrat. Pannenberg bertolak dari eksistensi konkret Yesus dari Nasaret dan dari kenyataan bahwa Yesus dalam eksistensinya itu berhubungan dengan Allah bapa-Nya, bukan merupakan pribadi kedua dalam trinitas. Dalam eksistensi yang konkret itu, kita temukan kenyataan bahwa dalam diri Yesus yang konkret itu, kita temukan kenyataan bahwa dalam diri Yesus jabatan (tugas) dan pribadi secara unik identik satu sama lain.
Dengan menjalankan secara sempurna tugas yang diterimanya dari Allah, Yesus hidup sebagai manusia yang secara menyeluruh diserahkan kepada Allah. Identitas pribadinya adalah pelaksaan tugas yang diterimanya dari Allah. Dalam kesadaran wewenangnya, dengan memanggil manusia ke dalam kerajaan Allah, Yesus mengalami diri sebagai bersatu dengan kehendak Allah, dan dengan demikian dengan Allah sendiri. Dalam dedikasi penuh kepada kehendak Allah yang menyata dalam tugas yang diberikan kepadanya, Yesus akhirnya mempertaruhkan seluruh hidup, ketika ia terancam hukuman mati kalau tetap menjalankan tugasnya itu. Sehingga pada dasar eksistensi Yesus kita temukan suatu kesatuan personal dengan Allah.
Dalam dedikasinya Yesus adalah Putra karena keputraan itu dilaksanakan sebagai dedikasi kepada Bapa. Apa yang kita namakan pribadi merupakan sebuah hubungan. Maka di sini hubungan manusia Yesus dengan Alah Bapa-Nya tidak diabaikan, sebagaimana sering kali terjadi dalam kristologi “dua natura“, melainkan dijadikan dasar bagi kita untuk mengenal keputraan-Nya yang abadi. Sedangkan keputraan abadi itu merupakan dasar dalam diri Yesus Kristus bagi kesatuan hidup manusia Yesus dengan Allah Bapa. Di sini keputraan Yesus nampak sebagai pemenuhan unik dari personalitas manusia yang lahir dari hubungan personal dengan personalitas Allah.

IV. Tinjauan Kritis dan Aplikasi
Pada tahun 1964 Karl Barth pernah menulis sebuah surat nasihat kepada Pannenberg untuk tidak menerbitkan sesuatu sampai dia mendapat gambaran yang lebih jelas tentang Allah. Pandangannya dinilai terlalu rationalistis dan mengesampingkan otoritas Allah. Sejalan dengan pemikiran Barth, kita bisa melihat bahwa dengan bortolak dari ranah rationalitas, teologi Pannenberg terkesan mengambang dan jauh dari realitas konkrit. Dia hanya melihat garis besar dan kehilangan konkretisasi. Pandangan yang umum mengabaikan dunia dengan berbagai pandangannya.
Sering orang mengeritik tentang tak adanya dimensi pengalaman dalam sistem Pannenberg. Ketersentuhan eksistensial teologi tampaknya dikorbankan demi keilmiahannya. Dia berpendapat bahwa teologi yang hanya merupakan rasioanalisasi prasangka tidak lagi dilegitimasi sebagai ilmiah dewasa ini. Dalam konteks ini ciri hipotetis teologi Pannenberg dipertanyakan. Setiap teologi sudah semestinya bertolak dari prasangka, yakni iman akan Allah. Allah mendahului ilmu tentang Allah karena upaya memahami upaya memahami Allah tanpa lebih dahulu disnetuh oleh Allah menjadikan Allah sebagai sekedar benda yang dapat diselidiki. Munculah pertanyaan dari kaum praktisi, bagaimana sejarah penderitaan manusia bisa dijelaskan semisal malapetaka Auschwitz dan Hiroshima? Di sini Pannenberg sama sekali tidak menyajikan hal-hal konkret.
Kristologi dari Wolfhart Pannenberg berkonsentrasi pada peristiwa kebangkitan Yesus. Keilahian-nya baru terpenuhi pada peristiwa kebangkitan. Baru dalam akhir hidup dan kebangkitan-Nya makna dan arti sebenarnya dari Yesus serta eksistensi-Nya dinyatakan. Dengan kebangkitan dan peristiwa di akhir hidupnya Yesus, baru bisa dikenal yakni manusia itu Allah, dapat diketahui. Hal ini tentunya bebeda dengan pandangan tentang Yesus pada umumnya tentang keilahian Yesus. Dengan demikian kita pertanyakan apakah segala mukjizat dan tanda-tanda heran yang dibuat Yesus selama hidupNya tidak bisa dijadikan justifikasi keilahian dalam dirinya.
Secara umum kelemahannya terletak pada kenyataan bahwa sukses Kristologi ini mencoba menetapkan bukti historisnya dengan keyakinan objektif yang sebenarnya sulit dicapai. Meskipun demikian ada pula kelebihan dari pandangan teologis Pannenberg yakni mengurangi kesubjektifitasan yang tidak semestinya. Dia meyakinkan tidak lewat sugesti tetapi lewat jalan pemikiran yang logis, gaya yang tidak saja mampu meyakinkan kaum kristen tetapi juga kaum non kristen. Aplikasi dari pandangan Pannenberg adalah mendorong kita untuk jangan mendasarkan iman pada perkataan orang orang percaya yang lain. Rationalitas bisa kita gunakan dalam kehidupan kita sehari-hari agar iman kita bisa diterima secara akal sehat.

V. Penutup
Rahasia daya pengaruh Pannenberg terletak dalam argumentasi pemikirannyaPannenberg mengusahakan sebuah kristologi dari bawah. Wewenang, dedikasi, pelaksanaan tugas, kepercayaan Yesus historis yang disahkan dan dinyatakan benar oleh Allah dalam pembangkitan menjadi dasar bagi kita untuk mengenal Yesus sebagai pewahyu, penyelamat, dan putera Allah. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kenyataan Yesus historis menjadi dasar bagi pengertian kita, sehingga kristologi bertolak dari bawah. Akan tetapi dalam keberadaan, Yesus historis tersebut dari permulaan ditopang oleh kualitas ilahi-Nya, yang kita baru mengenal dan mengerti pada akhir hidupNya dalam kebangkitan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar