Kamis, 13 Agustus 2009

Kitab Suci Vs Harry Potter

(Beralih dari Buku cadangan ke Buku Iman)

Rukhe Woda

Kitab suci dan Harry Potter
“Malam sebelum tidur sang juragan memanggil seorang anak kecil. Anak itu diminta untuk berdiri di sebuah ruangan. Kepadanya disodorkan dua buku dengan ketebalan yang hampir sama, dan memintanya untuk memilih salah satu dari kedua buku tersebut. Buku yang pertama adalah kitab suci dan yang lainnya adalah Harry Potter dari JK Rowling. Setelah berpikir sejenak ia lalu berkata; aih tuan, saya lebih suka buku Harry Potter. Sang juragan tak berkata apa-apa. Ia langsung tertidur.”
Kisah di atas tentu hanya merupakan secuil kisah imajinasi, bukan kisah konkret, hasil lamunan jiwa akan realita iman di kalangan umat kristiani. Lebih jauh saya membayangkan, jika pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang pastor, sudah pasti ia akan sangat kecewa. Atau pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang uskup, kalau bukan marah-marah, uskup pasti akan sangat kesal dengan jawaban itu. Lalu kita bertanya apakah cukup hanya dengan kecewa, kesal, atau marah-marah?
Situasi dunia pada jaman ini telah menghantar banyak orang untuk lebih cenderung memilih dan menomorsatukan buku-buku fiksi popular dengan kode best seller di depannya dibandingkan dengan buku kitab suci yang menjadi dasar imannya berpijak. Orang lebih suka akan petualangan dan kisah sihir Harry Potter yang menegangkan dibandingkan kisah-kisah iman dalam kitab suci yang mungkin saja dianggap sebagai kisah klasik yang menjenuhkan. Jika ini betul terjadi, kasihan ternyata orang telah mngesampingkan kitab suci. Secara tidak langsung orang telah menggantikan figur Yesus dengan si Harry Potter. Orang lebih memilih membaca kisah suasana dan perjamuan pesta di Hogwarts daripada membaca kisah perjamuan malam terakhir. Atau mungkin orang akan menggatikan figur para murid sebagai pengikut setia Yesus dengan dengan sosok burung hantu si Hedwig yang selalu mengikuti Harry potter. Ah sungguh menyedihkan memang, Kitab suci bukan lagi buku iman dengan prioritas utama melainkan sebagai buku alternatif, atau dalam tulisan saya ini saya memilih untuk menyebutkan sebagai “buku cadangan” yang belum tentu mendapat kesempatan untuk dibaca.
Fenomena Seputar Kitab Suci
Polemik seputar kitab suci sebagai buku iman telah menghantar gereja dan pihak-pihkanya yang bertanggungjawab ke pojok keprihatinan. Keanyataan menggambarkan bahwa orang lebih enggan untuk menerima kitab suci dengan alasan tak punya banyak waktu untuk membacanya. Ada juga yang tidak peduli, adem-ayem, dan merasa tidak perlu ketika diberikan Kitab Suci. Sampai pada takaran ini kita mesti bertanya, mrngapa orang lebih memilih buku-buku popular daripada mengusung tinggi kitab suci sebagai buku iman?mengapa orang lebih cenderung mencadangankan kitab suci? Atau dalam konteks tulisan ini, mengapa orang lebih suka memilih buku semacam Harry Potter daripada Kitab suci? Keprihatinan pun muncul sebgai bentuk rasa iba akan fenomena semacam itu.
Terhadap pertanyaan semacam ini ada dua sikap mental yang selalu jadi biang keladi menurunnya minat umat terhadap kitab suci. Pertama, sikap enggan untuk memilih kitab suci dan lebih memilih buku bacaan lain yan glebih popular. Kedua, sekalipun ada kitab suci tetapi orang tidak tahu membaca kitab suci yang baik dan sesuai dengan kaidah iman. Semua hanya mengandalkan ratio, tanpa hati, dan tanpa pewartaan lebih lanjut, sehingga yang muncul adalah kejenuhan, kebosanan, bahkan ada yang melihat kitab suci saja sudah bosan, apalagi membacanya. Kedua sikap mental ini saling memperngaruhi antara satu sama lain.
Gereja sebagai pihak yang mempunyai tanggungjawab penuh akan fenomena semacam ini tentunya tidak tinggal diam. Bahkan sudah sejak dahulu gereja terus-menerus memberikan perhatian terhadap masalah-masalah seputar kitab suci. Santo Hironimus dengan sangat getol menyuarakan betapa pentingnya membaca kitab suci, karena baginya barang siapa yang tidak mengenal kitab suci, ia tidak mengenal Kristus. Santo Gregorius agung juga menegaskan pentingnya membaca kitab suci melalui semboyan: sacra scriptur cum legente cescit (kitab suci bertumbuh bersama pembaca). Konsili vatikan II secara terang-terangan pula, mengangkat pentingnya membaca kitab suci lewat ajaran wahyu yang lebih dikenal dengan Dei Verbum. Konsili vatikan II yakin jika seseorang mewartakan kitab suci tanpa membacanya, sama sekali tidak ada manfaat sedikit pun baginya.
Demikian ada begitu banyak ajaran dari pihak gereja untuk menarik minat umatnya agar lebih akrab dengan kitab suci. Pihak SVD sendiri telah menerbitkan sebuah buku kecil, Tahun Misonaris Sabda Allah, membaca Kitab Suci. Buku ini berisi beberapa pencerahan yang bias membantu kita untuk membaca kitab suci secara baik dan sesuai dengan kaidah iman kita. Ada lima cara membaca kitab suci yang disodorkan di dalamnya. Pertama, Lectio Continua; membaca secara berkesinambunagan. Konsili vatikan II memperkenalkan kembali cara membaca kitab suci secara bertahap dan menyeluruh yang bisa membentuk kita untuk menjadi pembaca yang setia. Kedua, lectio assidua; membaca dengan penuh perhatian. Kita diminta utnuk betul mengakrabkan diri dengan naskah yang kita baca (penuh perhatian dan berulang-ulang). Ketiga, lectio Divina: membaca dalam suasana doa. Sebagai orang beriman kita menganggap kitab suci adalah Sabda Allah, yakni Allah ingin berbicara dengan kita secara pribadi melalui naskah yang kita baca. Tentu kita harus menjawabinya melalui doa. Keempat, lectio Dialogata: membaca secara dialogis atau sharing kitab suci. Dalam cara ini, kita dibagi dalam beberapa kelompok kecil untuk menyeringkan buah-buah pengalaman perjumpaan pribadi dengan Allah dalam kitab suci. Kelima, lectio liturgica: membaca secara liturgis. Ini merupakan rangkuman dari keempat cara sebelumnya. Lectio liturgica biasanya dibuat dalam sebuah perayaan liturgi.
Dalam membaca kitab suci yang sesuai dengan kaidah-kaidah iman, tingkat kejenuhan terhadap kitab suci akan semakin berkurang. Orang akan merasa lebih dekat dengan kitab suci. Kedekatan dengan kitab suci membawa setiap orang utntuk lebih mengenal Allah sehingga sabda Allah sungguh-sungguh menjadi dasar yang kokoh baginya. Demikianlah ia tidak akan melihat kitab suci sebagai buku cadangan yang akan dibaca ketika buku lain sudah jenuh dibaca, melainkan sebagai buku iman yang menjadi pegangan hidup setiap orang beriman.
Akhir Kata
Reinhold Schneider, seorang penyair pernah berkisah:” pada suatu malam natal saya membaca kitab suci. Sesudah kubaca beberapa bab, aku pergi keluar jalan yang gelap dan dingin. Dan memang benarlah kalau orang dihadapkan pada kebenaran kitab suci maka hidupnya tak dapat tak akan berbaik. Orang tidak cukup bila hanya membaca Alkitab. Ia harus melaksanakannya karena Alkitab bukan hanya sekedar buku. Alkitab itu kekuatan hidup. Maka kita tidak mungkin mengerti satu baris pun tanpa mempunyai tekad untuk melaksanakannya.” Baginya kitab suci adalah buku suci yang manjadi dasar imannya berpijak. Kitab suci bukan buku cadangan. Kitab suci jauh lebih mulia dari buku-buku popular lainnya.
”Pagi hari ketika sang juragan terjaga, ia heran karena depannya telah berdiri kembali seorang anak kecil dengan buku Harry potter di tangannya. Tanpa malu-malu anak itu berkata: yeah tuan aku tak lagi menemukan kisah menarik dalam buku ini. Berikan aku buku yang satunya. Sang juragan hanya tersenyum bangga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar