Kamis, 13 Agustus 2009

Apa Arti Semuanya Itu?

(Rukhe Woda)

Teks penuntun: Lukas 15:11-32

Dalam rangka memperingati hari bapak, seorang gadis mengisahkan pengalaman ditinggalkan ayahnya sebagai berikut; “Aku mempunyai seorang ayah yang mengajakku bermain. Kemudian dia meninggalkan aku di tengah reruntuhan permainan tanpa tahu yang mana harus dikenang dan yang mana yang sekedar bersenang-senang. Ia meninggalakn aku dengan gema dari tawa yang bukan milikku dan ia mengatakan bahwa permainan sudah usai sampai aku sadar betul bahwa permainan itu sebenarnya menysahkan satu pertanyaan dalam hatiku, Apa Arti Semuanya Itu?”
Apa arti semuanya itu. Pertanyaan dengan formulasi kalimat yang sama ini juga kita dengar dalam perumpamaan tentang anak yang hilang. Pertanyaan ini keluar dari mulut si sulung yang sepulangnya dari kebun merasa heran atas perubahan suasana di rumahnya. Ia memanggil seorang hamba dan bertanya kepadanya, Apa Arti semuanya itu?
Pada hari ini kita telah memasuki masa prapaskah, suatu masa persiapan menyngsong pesta kebangkitan Tuhan dengan berpantang, berpuasa, dan bermatiraga. Kisah tentang anak yang hilang mungkin saja dianggap sangat klise, terus-menerus, dan menjadi injil favorit dan setiap upacara tobat. Akan tetapi kisah injil ini tetap relevan, kaya akan makna pertobatan. Setidaknya ada tiga hal yang bisa diuraikan dari kisah anak yang hilang. Pertama, keangkuhan manusia. Orang yang angkuh tidak pernah puas dengan apa yang ada. Ia selalu menginginkan sesuatu yang lebih. Orang yang angkuh berlagak sok bisa dalam menghadapi segala sesuatu. Tidak butuh nasihat, pertimbangan atau kerja sama dengan yang lainnya. Dalam kisah injil tadi keangkuhan nampak dalam diri si bungsu yang meminta ayahnya untuk membagi-bagikan warisan tanpa ada suatu pertimbangan lebih jauh. Yang ia pikirkan adalah berfoya-foya dengan harta yang ia miliki. Tetapi ketika hartanya habis, kemalngan pun datang menimpah dirinya. Untuk mempertahankan hidupnya ia mesti bekerja menjaga babi dan mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu. Hal ini jelas menunjukkan kepada kita bahwa keangkuhan selalu berekor pada penderitaan dan ketidakselamatan.
Sebaliknya orang yang randah hati akan mendapat kesuksesan dan keselamatan. Ada sebuah kisah yang bisa menggambarkan sikap pasrah dan randah hati manusia di hadapan Allah; “ketika pemerintahan Jepang berkuasa di bumi Flores ini, semua orang pada waktu itu cukup pesimis akan perkembangan gereja lokal. Gereja lokal mengalami saat-saat yang paling sulit. Kesulitan umumnya datang dari penjajah yang berniat meluaskan wilayah kekuasaan mereka seraya menghilangkan orang-orang kulit putih dari bumi kita termasuk di dalamnya para imam dan misonaris. Para imam dan misionaris mendapat perlakuan kasar, sebagaian dideportasikan secara paksa, sebagaian lagi kemudian diinterir dalam sebuah tempat penampungan. Beberapa di antaranya harus menjadi korban. Mereka dilarang untuk memberikan pelayanan. Tutur kata mereka dibatasi. Dalam situasi seperti ini mereka hanya bisa berkata dengan penuh kepasrahan; non nobis dominen, non nobis, sed nomini tuo da gloriam (bukan kepada kami ya Tuhan bukan kepda kami melainkan kepadamulah diberikan pujian).” Kepasrahan dan kerendahan hati mereka dihadapan Allah memberikan hasil yang baik. Sampai dengan saat ini gereja lokal masih terus bertumbuh dengan baik.
Hal kedua yang bisa kita teladani adalah kerendahan hati atau kesediaan mengakui kesalahan. Ini menjadi suatu hal yang cukup penting dalam usaha tobat. Si bungsu kemudian sadar bahwa ia telah berdosa terhadap bapanya, dan karena itu apa pun konsekuensinya ia harus kembali kepada bapanya. Bahwa ia akan diterima atau tidak oleh ayahnya itu soal kemudian. Yang terpenting ia telah mengakui kesalahannya dengan sungguh hati. “ Bapa aku telah berdosa melawan bapa, akau tidak layak lagi disebut anak bapa. Semua orang pasti mempunyai keinginan untuk bertobat. Ada yang bermatiraga, pantang, puasa, dan ada pula yang mendesak-desak Tuhan untuk mengampuni kesalahannya. Tetapi mereka lupa untuk mengakui dengan besar hati setiap kesalahan yang mereka lakukan. Di sini tokoh si bungsu menjadi tokoh panutan bagi kita semua. Seorang sastrawan ternama asal Rusia, Dostoyevsky, bahkan menjadikan tokoh si sibungsu sebagai refrensi bagi untuk tokoh Raskolnikov dalam karyanya crime and punisment. Dan buku ini turut memberi dampak positif bagi kebanyakan orang untuk berani mengakui setiap kesalahan dengan besar hati agar terhindar dari beban dosa yang berkepanjangan.
Hal ketiga, belas kasih yang tak terhingga dari Allah. Allah dalam kisah tentang anak yang hilang digambarkan sebagai Bapa yang penuh belaskasihan. Ia mengampuni kesalahan anaknya dan menerimanya dengan perjamuan meriah. Ia bahkan menghibur hati si sulung yang merasa tidak puas dengan pesta yang dibuat ayahnya untuk adiknya yang telah kembali. Demikianlah belaskasihan Allah selalu melampai keangkuhan dan dosa-dosa kita serentak pula menjawabi kerendahan hati kita dalam mengakui setiap kesalahan kita. Allah yang kita imani adalah Allah yang penuh belakasihan. Ia mengajak kita bermain dan tetap menunggu sampai seluruh air mata kita berubah menjadi tanda kegembiraan, sampai seluruh penderitaan kita berubah menjadi tanda keselamatan.
Semua yang angkuh, yang cemburu, yang irih hati, sering dan pernah kita alami. Dan saat ini kita akan menjalani masa tobat. Belaskasihan Allah akan tinggal dalam diri kita jika kita sunguh-sungguh bertobat. Allah yang yang maha murah akan menghapus segala dosa kita jika kita dengan reandah hati mengakui seluruh kesalahan. Ingatlah bertobat bukan seperti bermain sim-sala-bimnya lampu aladin. Sekali tobat langsung bersih selamanya. Pertobatan tetap butuh komitmen untuk terus berubah ke arah yang lebih baik. Perubahan akan memberi arti pertobatan yang sesungguhnya. Sekali lagi pertobatan butuh perubahan dalam hidup kita, sebab jika tidak,begitulah, ampas dari makanan babi pun akan tetap menjadi pengisi perut kita.

:)Dibawakan sebagai renungan dalam ibadat tobat pembukaan masa prapaskah 2009 wisma Arnoldus-Ledalero.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar