Sabtu, 27 Juni 2009

Kota Ende dan Problem Historisnya

Kota Ende dan Problem Historisnya
Rukhe Woda
Lahir di Ende, 21 Juli 1986, Mahasiswa STFK Ledalero

Ende seperti seorang ibu yang membuka kedua lengannya, menantikan aku ke dalam pelukannya. Tetapi setiap kali aku mencoba meraih ujung-ujungnya itu, semua hilang dalam kegelapan (Maria D. Andriana, Ata Mai, 2005)

Perkembangan jaman sering diidentikan dengan peralihan tradisi. Orang mencabik berbagai elemen yang telah melekat kuat pada konteks tertentu dan menggabungkannya dalam suatu tatanan baru dengan unsur-unsur yang secara substansial sungguh berbeda malah mengaburkan keasliannya. Pencabutan dari akar-akar tradisi merupakan masalah yang terjadi hampir di setiap kota-kota yang berkembang.
Ende sebagai salah satu kota kabupaten yang sedang berkembang juga tidak luput dari fenomena seperti ini. Kota Ende yang dulu diidentikan dengan kota sejarah kini hampir tak terdengar lagi gema kesejarahannya. Apakah ini mengindikasikan bahwa kesejarahan kota Ende hampir pudar? Atau mungkinkah ini justifikasi atas tesis bahwa masalah kita adalah sulitnya mempertanggungjawabkan memoria, ingatan (Edy Kristianto, Sakaramen Politik, 2008)?

Resume Kota Ende
Sejarah oleh sebagaian orang sering disamaartikan dengan ingatan. Ingatan ini dapat dituturkan dalam kisah, dinyanyikan dalam lagu, dipahat dalam batu, diteruskan oleh generasi penerus, atau juga dalam buku harian atau ulasan sejarah yang direkam dalam bentuk pendokumentasian sejarah
Dalam kaitannya dengan pendokumentasian sejarah, di Ende sendiri ada situs Bung Karno, ada jalan Soekarno, ada lapangan pancasila dan monumen pancasila. Ada juga patung pelajar yang dibuat untuk mengingatkan orang bahwa kota Ende dalam kurun waktu tertentu pernah menjadi ikon pendidikan di Flores.
Akan tetapi, sejarah bukan hanya kisah (storia) yang ada di balik kemegahan artifisial, semisal patung, monumen, jalan raya, dll. Ia juga merupakan geschicte, suatu pendokumentasian sejarah yang disertai dengan interpretasi lanjut karena sejarah in se mengandung dua unsur; storia dan geschicte yang membentuk suatu kesatuan organis. Bukan hanya sebatas fakta-fakta historis yang terungkap dalam dokumen-dokumen dan peninggalan masa lalu tetapi bisa terejawantah dalam praksis kehidupan, yang oleh Edwar H.Carr (What is history, 1981) disebut sebagai proses bahkan progres.
Sayangnya, realitas yang terjadi di kota Ende cukup bernada miris. Orang lebih asyik tenggealam dalam euforia cerita-cerita hebat yang diwariskan. Di sini terjadi kepincangan yang malah mengaburkan kesejarahan kota Ende itu sendiri. Ada indikasi-indikasi dalam beberapa bidang kehidupan yang menunjukkan bahwa kesejarahan kota Ende sedang bergerak ke titik bawah.
Pertama, dalam bidang pendidikan. Dalam ranah ini, kesejarahan kota Ende tidak bisa dilepas-pisahkan dari peran para misionaris katolik yang sejak tahun 1914 menjadikan Ende sebagai pusat misi katolik yang meliputi wilayah kepulauan nusa tenggara. Buah karya para misonaris ini adalah didirikan sekolah-sekolah katolik seperti di Ndao dan di Ndona. Pada tahun 1953 Syuradikara sebagai sekolah menengah atas (SMA) pertama di flores didirikan. Lembaga pendidikan ini tercatat sebagai sekolah favorit dengan kualitas yang menjanjikan.
Selanjutnya, kota Ende dijuluki sebagai kota pelajar karena pada masa jayanya mulai tahun 1970-an sampai awal tahun 2000, kota Ende selalu didatangi pelajar dari luar daerah. Namun kini, jangankan mendatangkan pelajar dari luar daerah, untuk mengurus diri sendri saja sudah cukup sulit. Lihat saja porsentase kelulusan sekolah-sekolah di Ende dalam lima tahun terakhir.
Data yang didapat dari dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten Ende (Bdk. Pos Kupang, 16 November 2008) menjelaskan bahwa untuk lulusan SLTP tahun 2003-2004 prosentase kelulusan mencapai 86,70 %. Tahun 2004-2005 tingkat kelulusan menurun 58,87 %. Tahun 2005-2006 tingkat kelulusan hanya mencapai 36,90 %. Tahun 2006-2007 tingkat kelulusan mencapai 58,86%, dan tahun 2007-2008 tingkat kelulusan mencapai 61%.
Begitu pula dengan tingat kelulusan pada SMA. Pada tahun 2003-2004 kelulusan mencapai 82 %. Tahun 2004-2005 mencapai 88 %. Tahun 2005-2006 tingkat kelulusan 56 %. Tahun 2006-2007 tingkat kelulusan mencapai 59% serta tahun 2007-2008 tingkat kelulusan mencapai 61%. Dari data yang dipaparkan ini jelas kota Ende sebagai ikon pendidikan di Flores tinggal cerita belaka.
Kedua, dalam bidang transportasi (perhubungan). Letaknya yang cukup strategis berada persis di sentral pulau Flores dalam kurun waktu tertentu kota Ende pernah menjadi kota paling ramai di Flores yang tentu saja didatangi berbagai sarana transportasi baik transportasi darat, laut maupun udara. Namun kini, senuanya itu tinggal cerita.. Wajah bandara H. Aroe Boesman belum berubah secara signifikan dibandingkan dengan bandara di kota lain semisal Maumere. Dalam kaitanya dengan transportasi laut, kapal-kapal penumpang mulai mengubah rute pelayaran ke tempat lain lantaran bangkai kapal yang tak kunjung diangkat. Oleh F. Rahardi keadaan seperti ini disepadankan dengan kota mati (Bdk. Flores Pos, 13 November 2008).
Ketiga, dari segi estetika kota. Kota Ende secara topografis juga cukup menarik, dengan kedua teluk yang hampir berbentuk bujur sangkar dan didapiti dengan tiga gunung yang berdiri kokoh bak pagar penjaga. Konon, ketika hendak mendarat di ende untuk pertama kalinya, Kapten Tasuku Sato, panglima militer Jepang untuk Flores harus berdecak kagum dari pesawat: “sungguh ini bukan pemandangan perang tetapi perdamaian” (Aku Terkenang Flores, 2005).
Sangat naif memang, menyamakan keindahan kota dalam waktu berpuluh-puluh tahun lalu dengan keindahan kota sekarang, tetapi tidak cukup lancang untuk mengatakan bahwa tempat-tempat rekreasi di pinggiran kota Ende seperti Tangga Alam, Nanga Nesa, dan Nanga lala yang dulunya ramai dikunjungi orang, sekarang ini sepi tanpa pengunjung. Selain itu, dalam kururn waktu antara 1950-1958 kota Ende pernah menjadi ibukota daerah Flores, dengan Louis Mentero sebagai bupatinya. Awal pemerintahan yang gemilamg ini ternyata tidak bisa dipertahankan sampai dengan saat ini secara khusus dalam perkembangan kota.

Problem Solving
Pertama-tama dan utama yang perlu dilakukan adalah berada dalam posisi, kondisi, serta alam pikiran dan pelaku sejarah (the actor of story). Karena itu, dihimbau kepada semua komponen entah itu pihak pemerintah, pengusaha, pelajar, pencita budaya, maupun masyarakat sipil lainnya untuk masuk ke dalam mentalitas pelaku sejarah. Di sini kita akan menyatu dengan dengan seluruh realitas faktual yang pernah dan sedang terjadi, bukannya sebagai outsider, yang hanya mengamati dan mengagumi dari luar.
Ada banyak hal yang perlu dibenahi untuk mengangkat kembali kesejarahan kota ende yang kian pudar. Pembenahan bisa dilakukan secara fisik lahiriah yakni lewat pemeliharan dan pelestarian warisan-warisan luhur yang tentunya telah menjadi kebanggan bersama. Perlu dipikirkan secara lebih serius bagaimana mengoptimalkan kembali sarana dan prasarana transportasi seperti pelabuhan ipi Ende yang sejak tenggelamnya kapal, dan bangaki kapal yang tak kunjung diangkat, tidak bisa disinggahi kapal besar. Selain itu dipikirkan pula peningkatan mutu pendidikan di kota Ende agar cerita indah tentang kota Ende sebagai ikon pendidikan di Flores dan predikatnya sebagai kota pelajar tidak luntur dikikis waktu.
Bupati dan wakil bupati terpilih, pasangan Don Wangge dan Achmad Mochdar, telah dilantik Selasa, 7 April 2009. Dari segi struktural kepemimpinan kita akan memasuki sebuah periode baru dalam keseluruhan sejarah panjang kota Ende. Awal masa kepemimpinan ini adalah waktu yang tepat untuk berpikir bagaimana mengembalikan citra kota Ende sebagai kota sejarah. Akhirnya, saya percaya masyarakat kabupaten Ende tidak mengidap amnesia (hilang ingatan) untuk begitu saja melupakan kata-kata keramat dari Soekarno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.

1 komentar: