Senin, 08 Februari 2010

Ka Poka: Sebuah Ritus Penyerahan Sesaji
Kepada Wujud Tertinggi Menurut Orang Lio

Rukhe Alw. Woda

I. Awal Kata
Apakah manusia dan apa tempat atau peranannya dalam yang ada? Ini hanya sebuah pertanyaan klasik Max scheller, yang terus bergema dan bergetar dalam setiap aktus pencaharaian makna hidup manusia. Manusia mempertanyakan esensi dan eksistensimya pada saat ia berhadapan dengan yang lain, yang bukan dirinya, namun justru menjadi syarat adanya. Dengan sang pengada manusia memanifestasikan dirinya sebagai homo religious. Lahirlah keyakinan akan adanya suatu wujud tertinggi yang menguasai dan mengatur segala sesuatu. Seperti halnya di berbagai daerah lainnya, orang Lio pun mengenal dan percaya akan adanya wujud tertinggi sebagai sumber dan penguasa segala sesuatu. Wujud teritnggi itu disapa dengan nama D’ua Ngga’e, sumber dari segala kebaikan dan pencipta keeraturan, penyelenggara hidup dan pengawas susila. Karena itu, orang Lio merasa perlu membina relasi yang akrab dan harmonis dengan D’ua Ngga’e. Menurut Koentjaraningrat, antropolog kenamaan Indonesia, relasi yang akrab dengan wujud tertinggi itu dapat dilakukan dengan membawa sesajen dan doa-doa. Salah satu ritus yang masih dipertahankan sampai saat ini di wilayah Lio adalah Ka Poka, sebuah acara penyerahan sesaji kepada wujud tertinggi sebelum memulai panen.


II. Konsep Tentang Wujud Tertinggi
Suku bangsa Lio yakin akan bantuan Du’a Ngga’e yang dihubungi dengan doa dan membawa pembawaan sesajen. Dari aspek linguistik, nama Du’a Ngga’e bukan nama monoteisme murni walaupun dalam praktik ibadat umat menggunakannya dalam pengertian monoteis kristiani. Sebelumnya diadakan polemik pastoral di antara para misionaris tentang nama Du’a Ngga’e ini. Ada yang menerima nama Du’a Ngga’e sebagai nama monoteis krisitiani murni, tetapi ada yang menolak dengan alasan nama ini merupakan nama dualisitis yang tidak cukup mengungkapkan monoteisme krisitiani dalam cahaya wahyu. Namun sebagian besar suku bangsa Lio menganggap Du’a Ngga’e itu esa atau tunggal di samping bagian kecil yang meragukannya demi adanya dualisme dalam nama itu. Polemik pastoral itu diakhiri dengan kata sepakat yang melazimkan nama Du’a Ngga’e sebagai nama monoteis untuk digunakan dalam ibadat kristiani dalam cahaya wahyu. Artinya, Du’a Ngga’e adalah pemilik dan penguasa segala sesuatu yang ada, baik yang di langit maupun yang di bumi. Kekuasaan-Nya atas langit dan bumi bersifat mutlak dan tak terlampaui. Tidak ada penguasa lain yang lebih berkuasa dari kekuasaan Du’a Ngga’e. Untuk melukiskan kekuasaan Du’a Ngga’e yang melampaui langit dan bumi, orang Lio menyebut Du’a Ngga’e dengan ungkapan Du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tana, yang berarti Tuhan penguasa langit tertinggi dan Allah penguasa bumi terdalam. Ungkapan tersebut juga bisa mempunyai arti Du’a Ngga’e penguasa segala makhluk di bumi (alam semesta) dan di langit (dunia akhirat).


III. Ritual Pesta Ka Poka
Ketika panen sudah mulai dekat, atalaki (pemimpin adat) dari wilayah-wilayah kecil pergi menyampaikan kepada atalaki puu (ketua adat utama) bahwa tiga hari lagi sesudah bulan purnama pesta ka poka harus dirayakan. Pada hari yang sudah ditentukan atalaki puu pergi ke hanga (sebuah ruang keramat dalam rumah adat yang menyimpan barang-barang pusaka warisan leluhur). Setelah keluar dari hanga, sambil membawa sebuah gendang, ia memukul gendang itu, pergi ke kali dan berseru; “beberapa hari lagi kita akan merayakan pesta ka poka”.
Pada hari kedua setelah pengumuman tersebut, para wanita dan gadis menjemur padi di pagi hari dan menumbuhkannya pada sore hari. Wanita lain pergi menimba air. Para lelaki sibuk menangkap ayam, dan potong kulit kerbau kemudian memasaknya. Makanan yang sudah masak ditaruh di wati (anyaman dari daun lontar) sedangkan daging diisi dalam kuali tanah. Seseorang dari antara anggota keluarga diminta untuk membawakan makanan ke keda (sebuah batu pemujaan yang ditancap di depan rumah adat) dan ke tempat penyimpanan tulang-tulang para leluhur. Sesudahnya mereka boleh bersantap bersama.
Hari berikutnya seorang anggota keluarga membawa nasi dan kulit kerbau ke keliwolo harafia: gunung bukit) untuk dipersembahkan kepada penguasa langit dan bumi yang memberikan kesuburan dan keberhasilan usaha mereka. Setelah itu sedikit dari persembahan itu mereka santap. Selanjutnya seseorang dari mereka berlari cepat ke kampung membawa are ae uja (nasi air hujan) sebelum matahari terbit. Seandainya matahari mengenai nasi itu, maka dipercaya bahwa semua benih akan mati. Dua hari berikutnya orang tidak boleh menyentuh tumbuhan hijau dan juga tanah tidak boleh dilukai. Sesudah perayaan itu orang boleh menenuaikan padi dan jagung.


IV. Ritual Ka Poka Sebagai Bentuk Syukhur Kepada Wujud Tertinggi
Upacara ka poka biasanya dirayakan pada bulan Maret, April atau Mei, bergantung pada kematangan padi di ladang. Upacara dilakukan pada saat tiga atau empat bulan padi menguning, sehingga penggarap diajak berterima kasih pada Du’a lulu wula Ngga’e wena tana, dasar kesuburan dan dasar kelimpahan panen. Upacara ka poka diiringi keributan dan berbeda dengan upacara lain yang lebih hikmad. Suasana tersebut mengungkapkan kegembiraan karena keberhasilan dalam usaha sehingga panggarap diajak berterima kasih atas terkabulnya permohonan dengan bernyanyi: “io ela, io ela,io ela ebe gheta, ebe mena, are mera eo mbui somba dhera-dhera sakea kaka kena (wahai kamu yang ada disebelah utara, sebelah timur, inilah beras merah yang kami persembahkan, terimalah dari semua piring mangkok dan tempurung”.
Hanya ada satu intensi dasar dalam upacara ini, yakni mengucap syukhur kepada Wujud Tertinggi atas keberhasilan usaha mereka. Ucapan syukhur itu dibuat dengan membawa persembahan hasil usaha mereka. Mereka akan berteriak memuji Sang Pemberi berkat yang menganugerahkan kesuburan tanah dan kelimpahan panen. Sang pemberi berkat itu adalah Du’a lulu wula Ngga’e wena tana. Allah penguasa langit yang menurunkan hujan rahmat dan Tuhan penguasa bumi terdalam yang memberikan kesuburan. Dengan demikian Dua Nggae ditempatkan dengan sangat istimewah dalam upacara ka poka, sebagai Yang Ilahi yang disembah dan dipuja karena telah menganugerahkan berkat keberhasilan
panen.


V. Penutup
Keberadaan Yang Maha Tinggi (Du’a Ngga’e) sebagai penguasai langit dan bumi tidak hanya melulu dimengerti dalam relasi transendental, tetapi juga digambarkan sebagai sosok yang dekat dengan kita. Ia bukanlah penguasa mutlak yang otoriter tetapi juga berdiam di antara kita di bumi ini. Karena itu manusia perlu membangun relasi yang harmonis dengan Yang Maha Tinggi. Untuk menjalin relasi yang lebih akrab dengan wujud tertinggi itu, manusia perlu mengadakan hubungan lewat benda-benda atau melalui ritus-ritus tertentu. Ka Poka adalah salah satu ritus dari sekian banyak ritus yang dipraktikan oleh masyarakat suku Lio sebagai bentuk terima kasih kepada Sang Wujud tertinggi (Dua Nggae) atas karunia keberhasilan usaha panen mereka. Dalam upacara religi ini masyarakat di landa semacam gejolak keyakinan akan penyelenggaraan Wujud Tertinggi (Du’a Ngga’e), yang oleh Koentjroningrat disebut getar jiwa atau religious emotion. Dengan upacara seperti ini pula, masyarakat bukan hanya diajak mengenal Wujud Tertinggi itu, tetapi meyakini sungguh bahwa Sang Wujud Tertinggi itu benar-benar ada dan berpihak pada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar